[caption id="attachment_356892" align="aligncenter" width="600" caption="keberagaman agama (sumber foto: crcs.ugm.ac.id)"][/caption]
Ketertutupan menjadi salah satu sebab kita tidak saling kenal, tidak saling tahu, malah dapat berakibat tidak saling peduli. Padahal kita sangat beragam. Dalam masalah SARA, suku-agama-ras dan adat-istiadat misalnya, ketertutupan menjadikan masing-masing kita sebagai yang terasing, ekslusif, dan cenderung melihat hanya dari sisi bedanya saja.
Salah satu topik diskusi pada media sosial, yang selalu dan selalu menjurus pada menyebar kebencianm konflik dan debat kusir, dan bahkan dibumbui dengan kemarahan dan pertengkaran adalah soal agama. Ini jelas tidak sehat. Sebab selalu akan muncul pihak-pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Persoalan itu serius, dan ke depan harus segera dipecahkan. Tujuan jangka pendek agar perbedaan tidak untuk dijadikan olok-olok, dilecehan/dihina, apalagi dikucilkan. Perbedaan justru untuk saling menenggang dan berkompetisi dalam aarti sehat dalam segala bidang kehidupan. Tujuan jangka panjang, agar sikap-perilaku keberagamaan kita membuat kita produktif, efektif, namun manusiawi, untuk menggapai kesejahteraan dunia dan akherat!
*****
Sebagai jurnalis media elektronik lebih dari dua puluh tahun, beruntung saya berkesempatan meliput langsung ke berbagai tempat ibadah semua agama. Waktu di Sulawesi Utara karena penugasan, saya datang-masuk dan mengenali cukup banyak Gereja, Khatolik maupun Protestan, beserta ritual ibadah serta perayaannya.
Semasa sekolah dan kuliah di Yogya, saya mengenal aneka kepercayaan yang disebut Kejawen. Kepercayaan tradisional itu tumbuh subur dan mewarnai kehidupan beberapa kalangan masyarakat kala itu. Terkait dengan peninggalan budaya bernuansa agama, saya mengenal candi-candi dari mulai Prambanan, Kalasan, Boko, Mendut, dan Borobudur.
Pindah ke Jawa Barat kesempatan melihat agama dan keberagamannya lebih luas. Saya dapat meliput ke Vihara, Kelenteng, Pura, dan tentu saja masjid dengan aneka ritual/ibadahnya. Sebagai muslim saya meliput untuk berita dan laporan ihwal nuansa beberapa wisata ziarah dan nuansa akulturasi budaya Arab-China dan Jawa pada kegiatan keraton, khususnya di Cirebon. Dari agama Islam sendiri, saya pernah meliput acara-acara besar (haul, maludian, buka puasa bersama, sholat idul fitrri) pada beberapa pesantren terkenal di Priangan dan Cirebon.
Di luar itu saya dapat mengenal lebih dekat beberapa tempat yang terkait mitos, misalnya kamar Nyai Roro Kidul pada nomor 306 Samudra Beach Hotel Palabuhanratu. Saya juga membuat laporan perihal kehidupan vegetarian dan praktek ritual kelompok orang yang menamakan diri Dayak Losarang, di Indramayu.
****
Keberagamaan seseorang punya logika dan alur pikir masing-masing. Tidak mungkin begitu saja disalahkan, atau bahkan sekedar dikomentari berbedaannya. Ini tentu yang unik. Sebab dengan landasan itu tiap kelompok orang punya kegiatan sendiri-sendiri.
Misal untuk orang-orang penganut kepercayaan bagaimana ritual yang dilakukan untuk memuja Tuhan, bagimana cara menghormati arwah leluhur, serta juga bagaimana proses-proses kehidupan lahir-nikah-mati. Di sini tak lepas dari sesaji berupa bunga, kadang juga aneka makanan-minuman dan perlengkapan lain. Upacara dan ritual yang berbeda dilakukan umat beagama Kristen Protestan, Katoli, Hindu, Budha, Islam, bahkan Konghuchu.
Kemudian juga kepercayaan kepada zat Tuhan. Manusia diberi bekal akal untuk mencari siapa dan bagaimana Tuhan, ada yang mendapatkannya secara turun-temurun, ada yang dari usaha sendiri (dalam bahasa jawa disebut laku, misal puasa sekian puluh hari dengan syarat ini dan itu), dan tentu ada yang dari kitab suci yang dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah dan India maupun dari Bangsa Eropa.
Proses turun-temurun dari generasi awal ke generasi berikutnya pada iap penganut kepercayaan maupun agama memunculkan pemahaman dan praktek baru, dan bahkan banyak diantaranya yang mengaku hanya percaya Tuhan tapi tidak melakukan praktek keberagamaan tertentu. Bahkan ada juga yang terpengaruh faham tidak percaya adanya tuhan, yaitu komunis dan atheis.
Dua yang terakhir ini kiranya sebagai segara berketuhanan, maka kita harus sekuat tenaga menolaknya. Tragedi Septermber 1966 cukuplah sebagai catatan hitam untuk tegas menolak faham anti agama itu.
*****
Kini pada usia tua, selepas tugas karena pensiun, semua kenangan tentang keberagaman dalam kepercayaan/keberagamaan itu sesekali melintas. Saya memiliki beberapa catatan dalam bingkai pemahaman dan pengetahuan saya yang sangat terbatas:
1.Tiap agama memiliki praktek ritual dan peribadatan yang berbeda, disertai peralatan dan perangkat bantu yang berbeda pula. Ada yang dengan musik dan lagu, ada yang yang mengucapkan secara besama-sama, ada yang harus menyalakan lilin, membakar hio dan benda kiriman kepada arwah.
2.Tiap penganut agama ternyata memiliki kesamaan sikap yang memperlihatkan kekhusukan, kesalehan, kebersunguh-sungguhan menyembah Tuhan, serta melakukan sesuai agama dan kepercayaan yang dianut. Kesamaannya, semua untuk memuja dan meninggikan nama Tuhan.
3.Tiap agama memiliki organisasi tersendiri, yang mengatur kebutuhan dan persoalan semua anggota.Tiap agama memiliki rumah ibadah sendiri. Dengan eksterior maupun interior dan lambang-lambang keagamaan di dalamnya tersendiri pula yang memberi ciri khas yang membedakan dengan rumah ibadah yang lain.
Ketiga kondisi itu menjadi modal sangat baik untuk merajut kebersamaan. Dengan itu kelak kita dapat menepis berbagai kemungkinan gesekan maupun benturan kepentingan, anar agama-inter agama. Dengan itu kita mampu bersama-sama membangun sikap saling percaya, saling mendorong kearah kemajuan, dan saling melindungi.
*****
Banyak peristiwa berdarah di luar sana yang bernuansa agama, di Myanmar, di Tiongkok, di Jalur Gaza, di Iran-Irak-Suriah, dan banyak lagi; dapat kita jadikan pembanding namun tidak untuk mencari pembenaran munculnya terorisme, kekerasan, konflik dan kasus lain di tanah air. Tidak juga untuk menyebar kebencian, konflik dan debat kusir tanpa ujung pangkal seperti yang slalu erjdi di media sosial.
Hal itu penting untuk mendukung langkah cepat pemerintahan baru Jokowi-JK, mulai 20 Oktober 2014 nanti. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden ke tujuh itu karena program-program idealnya bakal menghadapi banyak hambatan, rintangan, dan bahkan tantangan dan prasangka buruk maupun sikap apriori dari lawan-lawan politiknya. Entahlah. Saya hanya ingin berbagai cerita kecil betapa kaya tanah air kita ini sampaipun pada soal keberagaman dalam keberagamaan, lihat dan amati, dan jadikan itu benteng kuat untuk merajut kebersamaan menuju Indonesia Hebat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H