LALU-LINTAS malam laksana belantara truk, dari satu kota ke kota lain. Berderet-deret liar, menderum dengan mesin dan knalpotnya. Bergelontangan dangan bunyi onderdil dan bodi truk yang terguncang-guncang. Ditambah lagi dengan bising bunyi klakson. Keramaian itu mengganas di jalan beraspal mendaki terjal, kemudian melaju kencang saat jalan lurus dan menurun.
Hujan rata menderas selepas maghrib, jalanan basah, Di sana-sini genangan penyebab aspal terkelupas, jadi kubangan, mengancam kecelakaan. Sementara tonase tiap truk makin besar, intensitas penggunaan jalan yang semakin tinggi. Jalan hancur!
Itulah yang dipikirkan Mas Sindu disepanjang jalan di belakang kemudi tronton tuanya. Ia mengangkut bahan industri dari Jakarta ke arah timur. Untuk mengusir ngantuk, sesekali ia bicara sendiri. Kecepatan konstan sekitar delapan puluh kilometer per jam. Masrul, kernetnya, sudah terlelap setengah jam lalu.
Hujan mengganggu perasaan dan pandangan Mas Sindu. Tapi ia tidak mau menyalahkan apapun, termasuk hujan.
-Hujan selalu datang tidak tepat waktu. Malas sebenarnya, tapi apa boleh buat? Hujan membuat cepat lelah dan ngantuk. Entah!- gumamnya tak jelas ditujukan pada siapa. Hari ini seharusnya ia istirahat, gilirannya Jimo. Tapi karibnya itu pamit untuk menengok seorang cucu yang sakit di rumah sakit.
Dalam sepi begitu Mas Sindu pingin cari teman ngobrol. Pernah ada perempuan paruh baya ikut truknya. Dengan alasan untuk teman ngobreol, Mas Sindu tidak menolak. Biarlah Masrultidur di bak belakang diantara barang-barang muatan. Perempuan itu, Yu Unarsih namanya mau minggat dari suami dan keempat anaknya. Ia ingin pulang ke ujung timur sana tapi tidak punya biaya. Kepergiannya juga karena tidak kuat lagi menanggung kemiskinan.
Cerita rumah-tangga itulah bahan ngobrol sepanjang jalan.
Sejak suaminya di PHK, Yu Unarsih yang harus menghidupi keluarga. Mana tubuh sudah tua, penghasilan tidak seberapa, tapi tuntutan suami justru makin gila.-
-Kalau hujan begini biasanya apa saja yang dikerjakan, Mak?- tanyak Mas Sindu.
-Kerjaku kan jualan nasi dan kopi. Kalau hujan makin banyak saja yang datang. Yang lain pasti saja hanya numpang berteduh. Ada pula yag cari teman ngobrol. . . . !- jawab Yu Unarsih sambil sesekali menghapus kaca yang berembun. –Suami setelah PHK banyak membantu. . . .! Cuma repotnya kalau hujan begini suami jadi banyak menuntut untuk dilayani. Serba repot. Mana pembeli banyak, suami mengganggu. . .!-
-Minta dilayani?-
-Ya, itulah. Beberapa kali setelah kutolak. . . .ee malah mengancam mau kawin lagi. Apa nggak gila itu namanya? Penghasilan tidak ada, keinginan banyak. . . . .!-
-Mana tahu kawin lagi dengan janda kaya-
-Lelaki itu sudah beberapa kali selingkuh. Mak cuma bertahan saja!-
Perempuan itu belum lima puluh tahun, kulit masih kencang dengan wajah manis. Setelah banyak ngobrol baru disadarinya suara perempuan itu merdu dan pinter ngobrol. Lama-lama Mas Sindu jadi tertarik juga. Namanya juga lelaki, ada kesempatan, dan jauh dari keluarga.
-Awas! Mau mati kamu? Dasar berandalan motor.- pekik Masrultiba-tiba. Sudah terbangun rupanya ia.
-Astaghfirullah!- teriak Mas Sindu spontan. Mas Sindu tergagap kaget dari lamunan tentang Yu Unarsih. Darah naik ke ubun, mata mendelik. Tapi reflek masih bekerja baik. Truk juga bisa dikendalikan.
Perempuan itu berubah pikiran ketika sampai di perbatasan provinsi. Entah mengapa ia ingat pada keempat anaknya. Mas Sindu mengucap istigfar karena urung dari niat busuk. Sudah setahun ini ia menahan diri dari perilaku umumnya sopir truk. Tapi godaan selalu datang.
LEWAT tengah malam hujan masih mendera begitu riuh, ritmis, dan mencekam. Mas Sindu mengurangi laju truknya. Ia sedang menimbang-nimbang untuk beristirahat barang satu atau dua jam untuk memulihkan tenaga dan konsentrasi. Tapi berhenti dimana?
Tegal, Pemalang, Pekalongan sudah terlampaui. Ini memang saatnya beristirahat. Ada truk timbunan tanah yang membuat ceceran tanah menjadi lumpur yang licin. Banyak truk yang memilih berhenti menghindari kemungkinan ban slip.
-Hujan begini banyak maling!- ucap Masrulmembuka percakapan. -Minggu lalu tetanggaku kecurian tiga motor sekaligus. Kawanan itu bawa truk box.. . . .!-
-Tiga sekaligus?-
-Kalau motor keempat tidak dimasukkan ke dalam rumah pasti dicuri juga! Hujan kayaknya membuat para maling makin nekat. . . . .!- tambah Masrul dengan mata melotot ke jalanan. –Bayangkan pagar digembok dan dirante kuat. Sulitlah kalau mau dibuka. Tapi maling punya cara lebih sederhana.. . . ._
-Bagaimana?-
-Angkat saja pagar itu, selesai urusan!-
Mas Sindu sejenak tergelak.
Lama diam, kedua orang sopir dan kernet itu terlena pada lamunan masing-masing. Beberapa puluh kilometer terlampaui sudah.
-Berhenti dimana?- tanya Mas Sindu.
-Di tempat yang ada hiburannya? Dangdutan atau karaoke!-
-Mungkin sopir lain mau, aku tidak. Kita cari tempat untuk makan minum, dan istirahat. Tidak ada acara hiburan segala. Besok atau lusa kalau sudah di rumah banyak hiburan di sana. Bukan di jalan seperti ini.. . .!- kata Mas Sindu, yang membuat Masrul kecewa.
-Dulu kudengar Mas Sindu juga suka. . . .!-
-Itu dulu. Setahun terakhir, aku stop. Dulu berada berhari-hari di belakang kemudi hingga setua ini untuk mengejar kesenangan! Tapi apa yang kudapat? -
-Begitu ya?-
-Hasil kerja puluhan tahun tidak nampak. Bukankah kita ini termasuk pekeja keras? Siang-malam di jalanan, beradu kesempatan dan keberuntungan!- Mas Sindu menasehati.
Masrul masih muda, mungkin saja pikirannya masih cari yang senang-senang saja, tanpa memikir nanti bagaimana. Masrul hanya meringis. -Terimakasih, pak Ustad!- ucap Masrul setengah meledek.
SELESAI makan-minum dan isitirahat, Mas Sindu melanjutkan jalan. Masrul terlihat masih malas, dan harus dipaksa untuk berangkat.
-Kalau tidak ada gangguan di jalan, paling-paling kamu kembali ngorok! Ayo cepat!- seru Mas Sindu sambil berlari ke arah truk yang diparkir agar jauh di sana.
Seorang berjaket tebal mengikuti. Lelaki itu berperawakan gagah, tinggi, dengan potongan rambut cepak. Wajahnya tak begitu terlihat karena gelap malam.
-Bang, numpang ke Semarang, ya? Ada yang perlu kuawasi diantara truk-truk dan sopirnya di jalanan ke arah sana. . . . .!- ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dan menyebut namanya ’Mudori’ dan kesatuannya.
Lelaki itu naik, dan duduk di tengah. Masrul diberi kode Mas Sindu untuk tetap duduk di depan meski agak berimpitan. Mesin truk menderum, perlahan meninggalkan sisi jalan, ke tengah, terus melaju ke arah timur.
-Hujan begini tidak aman ya, kalau rumah ditinggalkan!- ucap Mas Sindu memancing pembicaraan. Di belakang kemudi ia melihat ke semua spion, memastikan jalanan aman untuk menambah kecepatan.
-Ya, mungkin saja.. . .!- kata Mudori dengan suara ringan, terkesan pelit bicara.
-Banyak diceritakan di koran, kok!- tambah Masrul nimbrung.
-Nah, begini ya. . . . . .!- Mudori mengambil nafas sebelum berbicara. –Mohon maaf ya kalau pendapatku ini beda dengan pendapat kalian. Kita sering kali hanya memikirkan kejahatan orang lain, dan tidak pernah berpikir kenapa mereka begitu. Terdesak kondisi ekonomi, sakit hati karena tak kunjung dapat pekerjaan, karena tuntutan anak-isteri untuk hidup mewah, atau bisa juga karena ingin balas dendam dengan pemerintah yang sewenang-wenang. Banyak lho alasan orang kenapa nekat!-
Belum sempat diteruskan pembicaran itu, ketika antrian truk mulai mengurangi kecepatan. Lalu berhenti. Masrul mendongakkan badan keluar jendela, dan melihat di depan sana kerumunan orang.
-Kecelakaan?- tanya Mas Sindu.
-Mungkin! Ada banyak polisi.. . . .!- jawab Masrul.
-Wah, bakal terhambat lagi perjalanan kita kali ini. . . .!- komentar Mas Sindu.
Mudori tidak berkomentar. Lalu tiba-tiba ia minta turun. –Mari kita lihat ada apa di depan!- ajaknya kepada Masrul sambil mendahului turun dari kabin truk.
Belum sempat turun, Masrul melihat lelaki itu berlari ke belakang truk. Lalu cepat memanggil beberapa temannya di bak belakang. Seketika mereka menyusup ke belukar sisi jalan, dan menghilang dalam kegelapan malam.
Masrul naik lagi ke atas truk. –Aku sudah curiga. Lelaki itu bukan petugas. . . .!-
-Lalu siapa?-
-Mungkin saja perampok truk, bajing loncat atau apa . . . .!-
-Bisa jadi teroris. Caranya menjelaskan tentang kenapa orang menjadi maling memberi petunjuk bahwa dia bukan orang sembarangan.Beruntung ada polisi bikin razia, kalau tidak. . . . . . .!-
Mas Sindu tidak mau meneruskan kata-katanya. Ia ingat nasehat isterinya untuk selalu ngomong yang baik-baik saja.
HUJAN sempat agak reda, tapi kemudian menderas lagi dengan lebatnya. Genangan air di jalanan makin banyak saja, bahkan ada yang cukup tinggi. Kaca depan mengabur sebab gerak wiper terlalu lambat dibandingkan tetes air yang menimpa kaca. Jalan menikung, lalu menanjak dekat hutan karet. Lewat kendal, sebentar lagi Semarang! Setelah razia, Masrul kembali terlelap.
Benar juga perasaan lelaki yng mengaku bernama Mudori tadi. Ia lenyap sebelum dicurigai Polisi.
-Masrul, bangun, bangun! Kita singgah di mesjid jamie depan setelah Kendal!- teriak Mas Sindu sambil menggoncang-goncang bahu kernetnya itu.
Masrul menggumam tak jelas. Sesaat kemudian baru membuka mata.
-Hampir subuh! Kita singgah di mesjid!-
-Tumben?-
Mas Sindu diam termenung pada kata-katanya sendiri. Mesjid? Bertahun-tahun lalu setiap singgah yang dicari selalu warung dengan pelayannya yang montok. Bukan mesjid. Riwayat hitam itu tidak mudah dihapuskan meski kini berusaha lurus.
Gelap malam masih juga setia mengirim curahan air menderas, sangat deras, disertai kilat dan guntur yang gemuruh di langit. Mas Sindu sejenak terlena. Ia sedang berpikir sesuatu ketika sejenak senyap. Lenyap, kosong, dan gelap! Dalam laju maksimal, dua belas ban berputar kencang dan diseling derit rem dan gas, dalam licin jalan aspal mulus, sesuatu seperti melintas begitu mendadak.
Mas Sindu terpesona, beberapa detik, sebelum benturan keras. Pohonan sekelebat, lalu rumah rumah tembok, warung makan-minum, tanggul, dan akhirnya terbalik tepat di depan gerbang mesjid! Serupa ledakan keras. Para penghuni rumah dan warung berceceran tidak sempat melarikan diri!
- Hampir subuh! Kita singgah di mesjid!- denging suara di telinga Mas Sindu, itu suaranya sendiri yang bergema.
-Tumben?- komentar Masrul dengan nada tengik.
Mas Sindu seperti didera kenangan masa lalu. Hujan masih menderas kala pengemudi dan kernet tronton itu tergagap kehilangan nafas. Adzan subuh! Mesjid hiruk-pikuk dengan jamaah dan warga sekitar! Ada jerit kesakitan, ada yang berteriak-teriak hendak menolong. Seketika mesjid itu lebih ramai dari biasanya!
Bandung, 15 Des. '08-12 Sept. '14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H