Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Menulis Puisi Itu Asyik. Panduan bagi Pemula

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413657266179390171

Asyik? Ya, tidak salah tulis. Asyik memang. Bayangkan seorang anak yang bermain dengan bonekanya hingga lupa makan. Atau anak lain yang menaikkan layang-layang pada terik matahari hingga kulitnya menghitam. Mereka dilanda keasyikan. Bagi orang dewasa, asyik itu main catur sampai bergelas-gelas kopi diminum belum kelar. Menonton pertandingan sepakbola di layar tv sampai lewat tengah malam. Bisa juga pembaca novel, penonton sinetron di televisi, mengisi teka-teki silang, pemancing ikan di kolam, dan pasti juga penulis puisi!

Puisi, Hewan Apakah Itu

Puisi bukan sejenis hewan. Juga bukan satwa, apalagi peliharaan. Bukan!  Ia hanya untaian kata-kata yang sering tidak mudah dipahami maknanya. Lebih sering lagi hanya berisi gombal-gombalan yang terlalu dangkal dan mudah ditebak kemana arahnya.

Tapi di tangan penyair sejati, puisi  -nama lainnya sajak- menjadi jejak dan tonggak kehidupan mereka. Itu artinya dengan puisi mereka mendapatkan sekedar honorarium untuk meneruskan menulis puisi. Sekaligus untuk melemparkan gagasan pemikiran, semangat dan motivasi untuk melakukan ini dan itu, serta terutama untuk menceritakan tentang hikayat maupun madah ihwal dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa, bangsa dunia dengan segenap isinya. Lengkap bin kumplit.

Kenapa dirinya sendiri? Ya, itulah yang terdekat, termurah, dan tergampang. Ia merasakan sendiri apa saja yang dialaminya, kemudian apa yang dipikirkan tentang pengalaman itu, termasuk hikmah kalau ada. Pasti kemudian semangat tulisan itu hendak ditularkan kepada penyuka puisi, pembaca yang tertarik, dan siapa saja yang ingin sukses seperti si penyair.

Sekali lagi puisi bukan hewan, namun bahwa ia hidup sebagaimana mahluk lain barangkali tidak salah. Puisi dapat saja hidup abadi meski penyairnya sudah berada di balik kubur. Puisi tetap berdenyut manakala masih aktual dan relevan menyuarakan, misalnya, tuntutan keadilan, tuntutan berdemokrasi, turunkan harga sembako, dan buka lapangan kerja seluas-luasnya.

Jadi sekali lagi, meski berkepala dan beranggota badan sebagai kelengkapan, puisi tidak dapat dipijahkan layaknya ikan. Ia hidup mengikuti kemana medianya berkibar, eksis, serta  mempunyai daya tarik bagi khalayaknya.

Puisi Lama-Baru, Nafas Kematian

Puisi lama ditulis dan mungkin dimuat pada halaman sastra sebuah suratkabar dan majalah, atau diterbitan dalam betuk buku,  pada waktu yang telah lama lewat. Sedangkan puisi baru, ditulis belum lama, dan dimuat -media cetak maupun online- serta diterbitkan dengan waktu relatif baru. Puisi lama atau baru, satu hal yang hampir pasti, tema kematian sungguh  mudah dijumpai.

Untuk melengkapi sekedar contoh paparan pada subjudui pertama tulisan ini, saya kutipkan beberapa bagian dari puisi penyair Beni R. Budiman (alm), dalam bukunya berjudul ‘Penjaga Makam’. Kematian, itulah tema sebagian besar puisi penyair kelahiran Majalengka tahun 1965 itu.

"Di pelabuhan Cirebon, adikku sayang//Aku mengenangmu sambil menanti senja//Senja kematian yang menawan dan menyenangkan!//"........... (cuplikan puisi berjudul Di Pelabuhan Cirebon, 1993)

"Kematian. Kematian bukan akhir cerita, katamu//Tapi awal dari lakon drama baru. Harapan abadi//Yang ragu. Panggung yang menunggu dan ditunggu//Kematian, cinta niscaya yang meminta dan memaksa//".................. (cuplikan puisi berjudul Thespian, 1996)

Beni R. Budiman menderita komplikasi penyakit sebelum menghembuskan nafas terakhir pada 3 Desember 2002. Hari-hari sakit dilaluinya ditengah semangat menulis puisi, dan sikap kesenimannya. Lukisan Beni tentang mati seperti tak berjarak. Ia ada didalamnya, setidaknya ajal itu begitu dekat dirasakannya.

Lukisan itu tentu berbeda dengan tuturan penyair perempuan Dhenok Kristianti, seorang guru Bahasa Indonesia pada  SMP/SMA Swasta di Jakarta/Denpasar, dalam antologi puisinya berjudul ‘Ini Kunci, Kata Namanya’. Kematian baginya masih pada gambaran yang kurang pasti.

"Wajah maut serasa mencekam, buruk, menyeringai//Ia seperti goa dengan mulut menganga, selalu lapar!// Padahal siapa tahu sebenarnya ia penuh cinta?//Membantu melepaskan pakaian kita//Yang lusuh dan  compang-camping: raga yang kian rapuh!//"................ (cuplikan puisi berjudul Di Depan Lorong Antara-III, 2013)

Saya sendiri menyamakan  ‘kematian’ sebagai kembali. Kegagalan dan bekal yang dirasa tidak cukup, saya gambarkan dalam kata ‘keriput’. Meski sadar diri kualitas puisi saya masih jauh dari kedua penyair terdahulu, tidak ada salahnya meresensi puisi sendiri tentang kematian.

"Alangkah banyak yang taktertaklukan, kini//tersisa kisah perjalanan, kuseret remah berasa sendu//Izinkan kupulang, malu mengharap peluk dan bujukmu, kekasih//cermati aku, kutakut kau bahkan takmengenaliku//"......................  (cuplikan puisi di Kompasiana, Kembali dalam Keriput, 2014)

Jejak Penyair, Abadi

Penyair meninggalkan jejak dengan puisinya, Cerpenis meninggalkan jejak dengan cerpen-nya. Begitupula dengan Novelis, Jurnalis, Pelukis, maupun seribu-satu profesi lain yang ditekuni seseorang dalam hidupnya. Bahkan teroris dan koruptor pun menorehkan jejak. Tentu nilai guna dan manfaat mereka saling bertolak belakang, antara baik dan buruk, halal dan haram, dan seterusnya.

Kembali pada jejak penyair, puisi apapun yang ditinggalkannya adalah monumen. Dan setiap monumen menandai aneka pemikiran, kesaksian, pilihan hidup, bahkan juga jerih-payah fisik yang terus-menerus. Pilihan kata, rangkaian ungkapan, idiom, hingga susunan kalimat demi kalimat yang membentuk sebuah tema maupun topik tertentu pada sebuah puisi menunjukkan jati diri si penyair. Di sana tersimpan kedalaman atau juga ketinggian, nilai estetik, muatan filosofi, hingga laku dan pilihan religiositas, yang tentu saja tidak gampang untuk diuraikan.

Jejak itu, menurut Hawe Setiawan –seorang editor Pustaka Jaya-, tetap hidup dengan caranya sendiri, seakan mencoba untuk jadi abadi. Jejak itu bakal makin terasa mewakili si penyair manakala penggubahnya telah tiada.

Penutup, yang Bagus dan yang Jelek

Menulis puisi itu asyik, dan karena itu mestinya tidak perlu banyak berteori apalagi memberi kriteria ini-itu kalau karenanya kita sampai lupa tidak menulis apa-apa.

Menulis puisi itu pada dasarnya menulis satu kata. Ambil contoh sembarang: nisan, kemarau, pelabuhan, mawar, usia, kematian, dan apa aja yang lain. Nah satu kata itulah yang kemudian coba kita jabarkan dengan atau menjadi kata-kata lain yang semakna. Itu tafsiran dan pemikiran kita. Lalu kembangkan sesuai perbendaharaan kata kita, pengalaman, cerita yang pernah kita dengar, bahkan keyakinan kita. Panjangkan menjadi berbait-bait, berakhiran huruf/suku kata yang sama atau tidak, tidak mengapa.

Maka tanpa terasa muncullah rangkaian, belitan, argumentasi, peristiwa, nuansa, gaya, teknik, juga cerita. Sehingga kata pertama tadi menjadi judul. Dan kata-kata berikutnya menjelaskan tentang judul itu dengan bahasa yang puitis. Itu artinya bahasa yang mengandung unsur estetis, mengarah ke konotatif, menggunakan logika bahasa-kata-ungkapan yang tertentu meski kadang tidak lazim, dan lainnya.

Tidak Ada yang Jelek. Kecuali….

Dengan terus menulis berarti ada proses perbaikan oleh diri sendiri sebelum dibabat habis editor, dipermalukan oleh peresensi buku puisi, dan atau dihujat pengguna media sosial. Kejam ya? Karena itu jangan malas membaca dan membandingkan diri dengan puisi orang lain. Para penyair andal bertebaran mengumumkan puisinya di media. Yang penting ikuti ungkapan Pak Tino Sidin ketika membimbing anak-anak melukis; “Bagus, bagus, bagus……!”

Tidak ada lukisan yang jelek, jadi semua bagus. Begitupun puisi. Tidak ada puisi yang jelek. Bahkan ada orang yang berani bersumpah bahwa gambar yang jelek, puisi yang jelek, dan apapun yang jelek lainnya, adalah apapun yang belum dikerjakan, belum dibuat, baru angan-angan atau lamunan!

Nah! Jangan tanyakan seberapa tinggi pengalaman dan mutu saya menulis puisi. Karena saya pun sedang asyik mengasah pena. Inti tulisan ini adalah ajakan. Tulislah puisi tentang Jokowi, tentang Demokrasi, tentang Korupsi, dan banyak lagi. Jangan tentang kematian melulu, ngeri ah! Tulislah sekarang, carilah dimana sisi asyiknya. Sambil begadang, sambil minum kopi, sambil mancing, sambil main catur, atau apa saja. Yang jelas tidak mungkin sambil berenang, apalagi sambil tidur. Maka sesuai sudah judul tulisan ini: Menulis Puisi Itu Asyik! Panduan bagi Pemula (terutama saya sendiri).

Cibaduyut, 19 Oktober 2014

Sumber gambar - helenstrom.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline