Angka lima puluh tujuh punya arti penting bagi saya, setidaknya untuk tahun ini, tentu juga bulan dan hari ini. Sebab hari ini saya membuat tulisan yang ke 57 di blog keroyokan bernama Kompasiana, pada saat usia saya 57 tahun, sebab saya memang lahir pada Senin Wage, tahun 1957 di Desa Candi, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jateng.
Masa kecil, Daerah Genting
Kelahiran hingga masa balita saya ditandai dengan gerakan gerombolan Merbabu-Merapi Center. Mereka membuat keonaran, dan mungkin pemberontakan. Para petani, dan rakyat seputar dua gunung itu menjadi sasaran mereka. Bahkan mungkin terpaksa mengikuti gerakan mereka.
Maka petugas keamanan pun, tentara dan polisi, dibuat selalu bersiaga mengantisipasi pergerakan mereka. Bapak adalah seorang polisi berpangkat rendah yang harus selalu berhadapan dengan mereka. Beberapa cerita ibu tentang masa genting itu dialaminya bahkan ketika ibu hamil besar mengandung saya.
Lepas dari MMC, muncul gerakan Partai Komunis, hingga pecah peristiwa G30S/PKI. Tiap kali muncul keadaan darurat anggota keluarga seisi markas harus keluar dan mencari pengungsian sendiri-sendiri di rumah penduduk. Setelah itu terjadi penangkapan-penangkapan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota partai terlarang itu.
Ampel merupakan jalur penghubung antara Kota Semarang dengan kota Solo. Ini jalur penting untuk kegiatan keamanan dan pengamanan, dari kawasan pesisir utara ke daerah-daerah di selatan, dan sebaliknya. Di jalur itu beberapa tokoh PKI ditangkap.
Senin Wage, Wetonan
Hari kelahiran atau wetonan saya, adalah Senin Wage. Orang dulu memang mengenal dan mempunyai kepercayaan tertentu terhadap wetonan itu. Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa (dan karakter dari seseorang yang lahir dalam hari tertentu) dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut.
Weton merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin hingga Minggu/Ahad), dengan lima hari paaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5 ) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran an berulag setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.
Mengutip dari primbon, seseorang yang lahir pada hari Senin Wage, cukup beruntung karena jarang terjebak dalam keadaan yang memalukan. Bersikap hati-hati dalam mengambil tindakan. Dari sisi watak jujur dan suka mendengarkan keluhan orang lain. Pembawaan tenang, peampilan meyakinkan, sehingga memiliki bekal menjadi diplomat yang baik. Sifat buruknya pemarah, dan tidak gampang menerima alasan atas kesalahan orang lain.
Ya, itu ramalan berdasarkan kalender tradisional. Itu bukan tidak berguna, meski tidak perlu dipercaya benar. Banyak aspek lain mempengaruhi jalan kehidupan seseorang, bukan semata karena hari kelahiran atau weton-nya.
Ngobrol dengan Jeihan
Berkaitan dengan daerah kelahiran, yaitu Ampel, saya pernah beberapa kali bertemu dan ngobrol panjang dengan orang yang lahir di tempat yang sama, yaitu pelukis senior Jeihan Sukmantoro, di Galery Seninya di Jalan Padasuka Bandung. Sejak puluhan tahun silam Jeihan tinggal dan menjadi pelukis mapan di Bandung.
Jeihan lahir tahun 1938, dari keluarga campuran. Ayah seorang laki-laki keturuhan China, sedangkan ibu seorang priyayi Jawa, yang biasa menari di Kraton. Bakat seni orangtuanya mengaliri sekujur tubuhnya, sehingga mengantarkannya menggapai cita-cita sebagai pelukis terkenal.
Ngobrol dengan seniman ini betah, tentang puisi, filsafat, kejawen, agama, sejarah hidupnya, hingga tentu saja lukisannya. Saya meski hanya sempat sekejap menjadi mahasiwa STSI Asri, memberanikan diri melukis sketsa wajah beliau. Untuk itu Jeihan yang pernah kuliah di ITB pun membuat sketsa wajah saya.
Umur, Pikun
Umur orang siapa tahu, artinya bisa panjang karena banyak faktor, namun dapat pula pendek karena banyak faktor pula. Tapi panjang dan pendek itu sendiri relatif. Dalam bahasa agama kurang lebih menjadi: sebaik-baik umur adalah yang panjang dan mampu berjalan di dalam ridhoNya.
Dengan logika dibalik, maka setakut-takutnya orang akan mati sebenarnya seseorang lebih baik mati pada saat masih kuat beramal-ibadah. Pernah saya dengar dalam ceramah yang intinya menyebutkan bahwa para nabi, wali dan ulama mencapai umur panjang, namun tidak menjadi pikun. Bacaan Al Qur’an, pola makan ‘berhenti sebelum kenyang’, berwudhu minimal lima kali dalam sehari, gerakan sholat yang menyehatnya yang dilakukan dengan khusuk, perilaku bersih, dan banyak praktek kehidupan lain, yang membawa pada terbebas dari kepikunan.
Bayangkanlah bagaimana jadinya bila seorang pimpinan pondok pesantren misalnya, yang memiliki banyak santri, tiba-tiba ditimpa kepikunan. Sikap, perbuatan, dan perkataannya kembali menjadi serupa anak-anak, pelupa pada apa yang diucapkan dan dikerjakan, suka ngantuk dan tertidur, dan hal memalukan lainnya. Santrinya bakal bubar dengan seketika untuk pindah ke ponpes lain. Nabi Muhammad SAW berusia 63 tahun, dan beliau menyebutkan umur umatnya berkisar antara angka itu.
Angka 57 di Kompasiana
Bukan hanya umur dan tahun kelahiran, angka 57 juga menjadi tonggak bagi saya dalam kaitan dengan jumlah tulisan di Kompasiana. Tulisan saya ini adalah yang ke 57 (satu judul yang terposting dua kali dihitung satu), sebuah kebetulan dan memang sudah direncanakan tiga-empat hari lalu.
Saya terdaftar di Kompasiana pada 16 Februari 2014, dan dengan tertatih-tatih belajar menulis kembali. Sebab lama menulis semata berita dan laporan dalam format yang sudah biasa untuk media elektronik. Blog ini membuat saya merasa hidup kembali setelah sekian lama pingsan. Kegigihan dan ketekunan yang kurang untuk mampu melewati pisau bedah yang teramat tajam dari setiap editor media cetak, megharuskan saya mawas diri. Saya harus menepi untuk memperdalam ilmu persilatan lagi, agar suatu ketika kelak sanggup turun gunung untuk menghadapi pesilat kata-kata yang tinggi-tinggi belaka ilmunya.
Lalu seperti tiba-tiba saya temukan wadah baru ini. Seorang keponakan di Yogya saya mintai tolong membuatkan akun facebook. Lalu mendaftar di K, dan kemudian banyak bertanya pada anak bungsu tentang berbagai aspek penulisan via internet. Salah ketik, kurang dan kelebihan huruf, salah posting, salah gambar, gambar tanpa identitas, nulis ala kadarnya, dan banyak lagi kesalahan, begitu gampang saya lakukan, dan itu menjadi pembelajaran sangat berharga bagi saya.
Maka kini, inilah saya si tua pensiunan, yang coba eksis dengan menikmati kesendirian di rumah. Dua dari tiga anak sudah berkeluarga dan pindah rumah, dan si bungsu asyik dengan dunianya sendiri. Isteri pada 22 Desember 2014 nanti dua tahun sudah pergi mendahului, setelah semua kepedihan gagal ginjal selama delapan tahun dideritanya.
Penutup
Itulah sekelumit cerita tentang umur, tempat lahir, dan kesibukan saya kini, yang tentu saja tidak penting bagi orang lain. Karena masing-masing kita punya cerita berbeda, punya kepentingan tidak sama, punya ide dan kemauan sendiri, untuk menuliskan apa saja yang disukai di Kompasiana.
Begitupun tak ada salahnya saya mohon doa, biarlah umur saya ini barokah, biarlah semua niat baik dalam amal-ibadah selama ini diijabah, biarlah kesendirian ini berhikmah, biarlah bekal akherat terus melimpah, dan akhirnya………biarlah hari ini Jokowi dan Jusuf Kalla mengumumkan kabinet mereka tanpa keluh-kesah….ah ah!
Terimakasih bagi yang telah berkerut-kening membaca ini kisah, tidak bermutu apalagi bertuah, tapi biarlah…dan ya sudahlah! Alhamdulillah!
Cibaduyut, 21 Oktober 2014
Untuk Aska cucu pertama saya, untuk tiga orang anak Giri-Audi-Rey,
dua mantu Firdaus-Andriani, serta dua pasangan besan. Untuk kakak dan adik-adik.
Tulisan sebelumnya:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/19/melontar-tanya-tak-terjawab-696605.html
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/10/19/menulis-puisi-itu-asyik-panduan-bagi-pemula-696537.html
http://edukasi.kompasiana.com/2014/10/16/pengakuan-seorang-koruptor-696052.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H