sumber gambar : seattletimes.com
ratusan, ribuan, jutaan bebek, bersuara bising menggeram
berkeliaran memenuhi desa dan dusun dari balik bukit curam
tujuannya kota, merangsek, menyerbu dan mengganas
mereka berpacu. Tak terhalau oleh deraan hujan sangatan panas
tidak ada telur memang. Meninggalkan kandang sebelum subuh
hari ini maupun hari-hari sebelumnya, dari tempat yang jauh
berbaris-berderet, mencari makan, menguber pekerjaan
mengupas nasib yang tergencet, lewat setapak, memotong beban
kini para bebek mulai terusir dari jalan-jalan utama
jakarta setelah itu kota-kota lain mungkin, menjadi warga terlunta
mereka harus kembali ke setapak, kubangan, buangan
memutar menyiasati banjir, gelap, dan rawannya pinggiran
para bebek terus beranak-pinak, tak terbendung
keluar dari pabrik-pabrik asing, dengan iklan manis menelikung
di belakang berjejer para bandar, tengkulak, dan juga pengecer
kesejahteraan bagi mereka ibarat langit tak pernah mendung
inilah negeri para bebek, di sini bebek di sana bebek
di mana-mana bebek. Meraung garang, melaju kencang. Haus premium
terjungkal di tebing, terlindas truk, dihajar lokomotif. Siapapun maklum
bebek aneka merek, aneka bentuk, aneka kredit mencekik
dan bebek pun terus menggelinding, dari jauh tak jera
Menyemut, mengular, mewabah bagai air bah, menjarah kota
jutaan bebek, trilyunan bebek, silih berganti meresah senandung duka
nasibmu para pembebek! Nasibmu negeri pembebek!
Cibaduyut, 28 Desember 2014
Sumber gambar : seattletimes.com
-----------------
Tulisan sebelumnya:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/25/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-1-712736.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/26/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-2-712817.html
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/26/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-3-712967.html