Puisi Sugiyanta Pancasari
bintang-gemintang terlihat murung menahan kesedihannya yang tak terbendung
air matanya menggantung sebelum akhirnya menetes deras membelah gunung
hari ini bumi khatulistiwa tengah berkabung, menangisi kepergian seorang hakim agung
apakah ini isyarat palu keadilan bakalan buntung
tak ada yang abadi jika hidup telah pergi
kembali ke pelukan bumi, itu takdir yang tak bisa ditawar-tawar lagi
apalah artinya jasad, selain kumpulan tulang dan daging
duka ini: jalan terjauh yang harus kami tempuh, mimpi terpanjang dalam rimbun lebat bayang-bayang
tanpa integritasmu, kami seakan serdadu perang tanpa tombak dan pedang
dalam cahaya kegelapan, redup remang meraba-raba ujung jalan, menyiram benih kejujuran yang telah disemaikan di tanah karut marut ditumbuhi rumput-rumput, semak belukar hasrat kekuasaan untuk memperkaya diri,
tentang tanah tumpah darah kami yang keropos dan ringkih digerogoti korupsi
di tanganmu, keadilan tak mengenal kata gentar, dan senantiasa gigih dan tegar melawan monster dan gurita, mafia licin di tubuh-tubuh lembaga negara, di rumah-rumah pusat kuasa.
tak perlu banyak waktu untuk melumat jasadmu, tapi tak ada yang mampu mengubur jiwa dan harum namamu
dan,
palu keadilanmu adalah tumbal bagi hidup ibu Pertiwi, masa depan anak cucu kami.
Jogja, 28 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H