Lihat ke Halaman Asli

Benarkah UN Tidak Perlu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perbincangan seputar Ujian Nasional beberapa tahun terakhir ini baik di tingkat pusatmaupun daerah masih berkutat seputar perlu tidaknya Ujian Nasional (UN). Setiap menjelang pelaksanaan UN bulan April, maka keributan/silang-pendapat/protes dan sebagainya menjadi menu utama pemberitaan menghiasi halaman media dan layar kaca media elektronik. Tidak hanya anggota dewan yang terhormat yang melepaskan pendapat dengan penuh semangat atau tenang-tenang tapi menghanyutkan, juga pejabat pemerintah pusat dan daerah, pemerhati pendidikan, pemerhati anggaran, aktivis LSM, bahkan bapak dan ibu rumah tangga yang tidak paham benar untuk apa UN, pun mengemukakan pendapat tentang UN.Di saat seperti itu UN menjadi buah bibir yang menarik.

Suara guru atau pejabat Kementerian Pendidikan tentang apa dan bagaimana UN sepertinya tidak didengarkan. Kata orang-orang yang menentang UN, UN hanya buang-buang uang. Berapa anggaran UN (ratusan milyar) tapi kenyataan di lapangan penyelenggaraan UN tidak semakin baik, sebaliknya semakin amburadul. Pelaksanaan UN 2013 jadwal UN untuk 11 provinsi tidak sama dengan provinsi-provinsi lainnya (lebih lambat). Bagaimana mungkin pihak percetakan sampai terlambat menyiapkan naskah soal ujian? Ah... Bukan itu saja, transportasi distribusi naskah UN untuk negara seluas Republik Indonesia dan persoalan teknis juga menjadi kambing hitam keterlambatan.

Namun toh UN tetap dilaksanakan. Kenapa? Ya karena pemerintah (Kemdikbud) mempunyai payung hukum pelaksanaan UN, diantaranya adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disana dijelaskan bahwa (1) Evaluasi (termasuk UN) dilakukan pemerintah dalam rangka pengendalian mutu secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelengara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkentingan (stakeholder), (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik (ulangan dari guru, ujian sekolah, dan UN - tambahan penulis) lembaga dan program pendidikan pada jalur formal (akreditasi - tambahan penulis) dan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Di sana juga disebutkan bahwa ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut diatur lebih dengan peraturan pemerintah (PP), dan juga Permen (Peraturan Menteri - tambahan penulis).

Selain berdasarkan pada UU Sisdiknas, mekanisme pelaksanaan UN juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Di dalamnya diatur tentang standar penilaian pendidikan; penilaian hasil belajar oleh pendidik (guru), penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan (ujian sekolah), dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah (UN). Diterangkan lebih lanjut dalam pasal 66 ayat (1) bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah (UN) bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional (UN); ayat (2) UN dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Jadi jelas bahwa pelaksanaan UN memenuhi azas legalitas karena sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut hemat penulis, substansi permasalahan sebenarnya bukan pada legalitas atau ilegalitas pelaksanaan UN (kaerna jelas ada dasar hukumnya), namun justru pada iktikad pemerintah (Kemdikbud) untuk menjadikan pelaksanaan UN sebagai sesuatu yang aman, nyaman, dan mengasyikkan. Apa bisa? Perlu dicoba. Kesan UN selama ini menjadi momok bagi peserta didik. Menurut sebagian orang (juga pemerhati pendidikan), UN adalah satu-satunya penentu kelulusan. Padahal menurut perundang-undangan yang berlaku tidak demikian. Lulus UN adalah satu dari faktor lain penentu kelulusan. Menurut PP No. 19 Tahun 2005 pasal 72 peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan, adalah (1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran ... ; (3) lulus ujian sekolah ... ; dan (4) lulus Ujian Nasional.

Akhirnya bagaimana pelaksanaan UN yang tidak menyebabkan momok, ketakutan, keamburadulan itulah yang sedang dinantikan masyarakat. Pak Menteri dan jajaran tidak usah berkelit dan mencari pembenaran kalau memang pelaksanaan UN tahun ini sangat buruk. Masyarakat juga jangan menyalahkan terus. Kesuksesan sering bermula dari kegagalan. Semua peristiwa adalah pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil hikmah di baliknya. Mohon maaf jika opini ini terlalu gegabah. Wassalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline