Lihat ke Halaman Asli

Profesi Guru, Terjepit Antara Pengabdian dan Kebijakan Rasio Minimum 20 : 1

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sebuah obrolan dengan beberapa orang guru sewaktu menunggui masa orientasi siswa baru di sekolah, saya menangkap kegundahan dari salah seorang kawan guru yang kebetulan memerlukan tambahan jam mengajar di sekolah kami karena jumlah jam mengajarnya di sekolah induk tidak mencukupi kewajiban 24 jam mengajar per minggu.

Kegundahan beliau semakin terasakan dengan diterapkannya kebijakan rasio minimum 20 : 1, dalam pengertian bahwa dalam satu kelas harus ada sekurang-kurangnya 20 siswa. Jika banyaknya siswa dalam satu kelas (rombongan belajar) kurang dari 20 siswa maka jam mengajar guru yang bersangkutan tidak akan diperhitungkan dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban mengajar minimum 24 jam per minggu, sehingga tunjangan prosfesi mereka yang sudah bersertifikat profesi tidak akan dapat dicairkan.

Untuk sekolah-sekolah di kota, apalagi sekolah favorit, ketentuan ini jelas sama sekali bukan masalah. Bagi mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk mememnuhi rasio 20 : 1 di setiap rombongan belajarnya. Namun bagi beberapa sekolah di pelosok pedesaan yang terpencil, apalagi bagi sekolah kecil yang didirikan pemerintah untuk memenuhi hak warga negaranya di bidang pendidikan (sering dikatakan sebagai sekolah satu atap, SMP dan SD di satu lokasi), maka ketentuan ini terasa sangat menyulitkan.

Bagi sekolah-sekolah SMP satu atap ini, sejak awal pembentukannya banyak siswa dalam setiap rombongan jarang melebihi angka 20. Sehingga setiap awal tahun pelajaran, pada saat pelaksanaan PPDB, para guru (panitia PPDB) aktif mendatangi sekolah-sekolah di sekitarnya yang mengalami kelebihan pendaftar. Bahkan untuk bulan-bulan pertama masuk sekolah, pihak sekolah menyediakan transportasi bagi siswa yang jaraknya terlalu jauh.

Namun untuk tahun pelajaran 2015/2016 ini, meski sekolah SMP lain di sekitarnya tidak menambah daya tampung, namun ternyata banyaknya lulusan SD yang ada tidak memenuhi kuota untuk setiap sekolah yang ada. Dengan demikian maka sekolah-sekolah SMP satu atap semakin kesulitan untuk mendapatkan siswa, sehingga rasio 20 : 1 dalam satu rombongan belajar tidak terpenuhi. Ada yang hanya mendapat 17 siswa, bahkan ada yang hanya memperoleh kurang dari 10 siswa.

Kegundahan para guru yang mengabdi di sekolah satu atap ini dapat dimaklumi. Berapa pun banyaknya siswa dalam satu rombongan belajar, sesuai hak asasi siswa untuk mendapatkan pendidikan, mereka harus tepat dididik sebagaimana mestinya. Namun para guru harus menerima kenyataan bahwa jumlah jam mengajarnya di kelas yang siswanya kurang dari 20 tidak akan diperhitungkan dalam pemenuhan kewajiban 24 jam pelajaran per minggu.

Untuk memenuhi kewajiban 24 jam pelajaran per minggu, maka para guru dari SMP satu atap ini harus mengajar di sekolah lain, bahkan kadang lebih dari dua sekolah. Selain pada pihak guru yang akan mengalami kesulitan, maka para siswa pun akan dirugikan. Dapat dipastikan perhatian guru terhadap perkembangan anak didiknya akan berkurang disebabkan konsentrasi guru yang terpecah, ditambah dengan kelelahan secara fisik. Meski secara resmi mereka hanya dihitung mngejar 24 jam per minggu, namun secara riel, ada di antara mereka yang terpaksa mengajar 36 jam per minggu, karena semua beban mengajarnya di SMP satu atap tidak diakui oleh Dapodik, karena banyaknya siswa dalam satu rombongan belajar kurang dari 20.

Jika sekolah-sekolah (SMP) satu atap ini dipertahankan, yang dikorbankan adalah para guru yang akan mengalami beban kerja jauh lebih besar daripada guru-guru lain. Jika sekolah ini ditutp, yang akan dirugikan adalah para siswa yang harus menempuh jarak lebih jauh untuk bersekolah. Resiko penutupan sekolah ini adalah semakin banyaknya anak putus sekolah, karena awal pembentuka sekolah ini adalah untuk menampung anak-anak yang sejak semula enggan melanjutkan sekolah karena pertimbangan jarak tempuh ke sekolah yang terlalu jauh. Jarak jauh tidak akan menjadi masalah bila tersedia transportasi, namun bagi para siswa di sekolah satu atap ini, pada umumnya perjalanan ke sekolah ditempuh dengan jalan kaki. Selain karena tidak ada transportasi umum yang melayani mereka, mereka juga tidak memiliki alat transportasi sendiri, dan lebih diperparah dengan faktor geografis yang tidak memungkin perjalanan ditempuh dengan kendaraan.

Sebuah pertanyaan layak disampaikan kepada para pejabat pembuat kebijkan berkait pendidikan di negeri ini. "Apa solusi yang lebih baik untuk mengatasi keadaan seperti ini?" Haruskah mereka (para guru) menederita dengan beban kerja yang jauh lebih berat dari rekan-rekan mereka yang lain? Sementara itu, jika hasil belajar anak didiknya kurang baik, mereka dicap sebagai guru yang tidak profesional. Padahal untuk memenuhi kewajiban 24 jam pelajaran per minggu, mereka harus mengajar sampai 36 jam pelajar per minggu dengan lokasi beberapa sekolah yang jaraknya berjauhan, yang pasti menambah pengeluaran untuk transportasi si guru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline