Lihat ke Halaman Asli

Haji Berkali-kali, antara Syahwat dan Teladan Nabi

Diperbarui: 21 Oktober 2015   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika saya menyimak sebuah berita mengenai keputusan MK yang menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mempersulit keinginan umat Islam yang sudah pernah berhaji untuk melakukan ibadah haji lagi, saya sempat berpikir bahwa memang tidak semestinya keinginan melakukan ibadah (haji) itu dilarang. Namun, setelah itu, sebagai salah satu pemeluk Islam yang hingga kini belum sempat melaksanakan ibadah haji kemudian membayang akan semakin panjangnya daftar tunggu bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji.

Berdasar penuturan salah seorang kawan yang kebetulan mendaftarkan keinginannya beribadah haji ke kantor Kemenag, sesuai SISKOHAT diketahui bahwa diperkirakan keberangkat kawan saya baru terlaksana pada tahun 2033 yang akan datang. Adakah dapat dijamin bahwa yang bersangkutan masih sempat melaksanakannya pada tahun itu, yang berarti 18 tahun yang akan datang? Jika Allah menghendaki, meski sudah setua apapun, memang pasti dapat terlaksana.

Pada tataran realita, mereka yang melaksanakan ibdah haji berkali-kali (lebih dari dua kali, bahkan ada yang hingga 10 kali atau lebih), pastilah orang-orang yang serba berkecukupan, dan harta melimpah. Sehingga jika hasrat untuk selalu berhaji lagi ini tidak diberi batasan, maka syahwat untuk berhaji ini akan selalu menuntut pemenuhan. Dengan hartanya yang banyak, mereka akan selalu mendapat fasilitas untuk berangkat lebih awal dengan menggunakan kuota haji plus, yang biaya perjalannya bisa tiga atau empat kali lipat dari jamaah haji reguler. Mereka yang mendaftar sebagai calon jama'ah haji reguler harus menunggu hingga belasan tahun, sementara mereka yang sanggup membayar lebih mahal dengan kuota haji plus, akan segera berangkat tanpa daftar tunggu.

Berdasar kitab Shirah Nabawiyah yang pernah sekali saya baca, dan juga keterangan dari para ustadz dalam mimbar-mimbar pengajian, sepanjang hidupnya (atau setidaknya sejak hijrah ke Madinah) Nabi Muhammad SAW hanya dua kali melaksanakan ibadah haji. Mengapa Nabi hanya melaksanakan ibadah haji dua kali sepanjang hidupnya? Adakah kesulitan bagi Nabi untuk melaksanakannya setiap tahun dalam sepanjang hidupnya? Masalah biaya, barangkali bukan halangan, meskipun Nabi bukanlah orang yang kaya raya. Hambatan jarak, barangkali juga tidak sejauh jarak kita yang ada di negeri ini.

Tetapi, mengapa beliau hanya melaksanakannya dua kali? Barangkali, pandangan futuristis seorang nabi ayng selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT telah memperhitungkan bahwa pada suatu masa setelahnya, motivasi umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji semakin membaik. Sehingga jika nabi setiap tahun melaksanakan ibadah haji dan kemudian kewajiban haji juga diberlakukan setiap tahun selama hidup manusia, dapat kita bayangkan bagaimana keadaan kota Makkah pada musim haji. Dengan pembatasan berdasar kuota untuk negara-negara yang muslimnya banyak, tahun terakhir tidak kurang dari dua juta jama'ah haji mengunjungi Baitullah. Bagaimana jika tidak diberlakukan kuota?

Dari kisah hidup Nabi yang hanya dua kali melaksanakah ibadah haji, maka dapat dimaklumi jika seorang muslim berkenaan melaksanakannya dua kali. Keberangkatan haji yang pertama adalah ibadah fardlu, dan yang kedua adalah meneladani Nabi Muhammad SAW. Atau barangkali juga karena harus mewakili orang tuanya yang belum sempat berhaji selama hidupnya dan telah didahului kematian. Sementara, jika mereka melaksanakannya berkali-kali, adakah larangan? Memang tidak ada larangan bagi siapapun untuk melaksanakan ibadah haji sampai berapa kalipun, mungkin lima puluh kali pun. Namun, apakah itu perlu?

Apalagi jika banyaknya hitungan keberangkatan ibadah haji itu kemudian menjadi semacam "kebanggaan", maka sesungguhnya itu hanyalah sekedar syahwat yang terbungkus pelaksanaan ibadah haji. Sementara dengan semakin seringnya orang-orang tersebut berangkat haji, berarti akan semakin memperpanjang antrian daftar tunggu bagi calon jama'ah haji lainnya yang kebetulan perekonomiannya terbatas sebagaimana saya. Jika karena semakin lamanya antria daftar tunggu, menyebabkan seseorang calon jemaah haji tidak bisa berangkat karena kedahuluan ajal, layakkah "kebanggaan" berkaitan hitungan banyaknya keberangkat haji itu?

Sekali lagi, tulisan ini adalah suara hati umat yang mengalami panjangnya daftar tunggu perjalanan ibadah haji karena hanya dapat mendaftar sebagai calon jema'ah reguler, dan tak sanggup membayangkan untuk menjadi jama'ah kuota haji plus. Semoga dapat sedikit mengurangi syahwat mereka yang bergelimpang harta, untuk memberi kesempatan kami melaksanakan kewajiban rukun kelima dari rukun Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline