Lihat ke Halaman Asli

Menikmati Pagi

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

137925839784307569

Rintik gerimis saat subuh, sempat membuat saya hampir membatalkan rencana untuk kembali mengayuh sepeda yang sudah cukup lama tersimpan di gudang. Namun setelah acara sport 7 di televisi selesai, saya lihat cuaca lumayan cerah. Segera saya kenakan sepatu dan keluarkan sepeda, dan mulai mengayuh dengan santai. Keluar dari kampung di Kadirojo, Purwomartani, Kalasan saya telusuri jalan inspeksi selokan Mataram ke arah timur. Matahari masih malu-malu mengintip dari balik rimbunnya pohon di kampung sebelah timur. [caption id="attachment_279009" align="alignnone" width="300" caption="mentari pagi mengintip dari balik dusun, saat di tepi selokan Mataram"][/caption] [caption id="attachment_279010" align="alignnone" width="300" caption="mentari pagi"]

1379258564980092533

[/caption] Sampai di sebelah utara lapangan Raden Ronggo, saya belok ke utara. Jalan yang sedikit menanjak ternyata cukup berat bagi kaki saya yang sudah cukup lama tidak mengayuh. Namun dengan telaten setiap jengkal aspal saya jalani. satu hal yang semakin memperberat perjalanan adalah asap knalpot truk-truk yang beriringan, baik yang baru berangkat maupun yang pulang mengambil pasir. Udara pagi yang semestinya segar dan bersih, terpapar polusi. Tiba di balai benih ikan (BBI) Cangkringan, kaki saya terasa semakin berat untuk mengayuh. Saya putuskan untuk ke timur menengok suasana kali Gendol. Jalan aspal yang tehun lalu masih lumayan mulus, kini berlubang besar-besar karena dilalui truk-truk pengangkut pasir yang selalu kelebihan beban muatan. Sebentar turun ke kali untuk cuci tangan yang kotor kena gemuk saat membetulkan rantai yang lepas. Hanya sekitar lima menit saya mengenang erupsi Merapi tahun 2010 yang mengirim lahar panas sampai tempat saya berdiri. Cuaca sedikit berkabut, sehingga puncak merapai sama sekali tidak terlihat. [caption id="attachment_279011" align="alignnone" width="300" caption="panorama kali Gendol, hampir 3 tahun setelah erupsi"]

13792587551006788820

[/caption] Meninggalkan tanggul kali Gendol, saya masuk kampung Morangan. Dengan jalan cor beton yang menurun, saya sampai di situs Candi Morangan. Saat saya hentikan sepda di depan pintu pagar yang tertutup, seorang petugas keluar dari rumah jaga datang membukakan pintu. sempat berbincang sebentar dengan para petugas yang saat itu waktunya pergantian shift jaga, berdasar cerita mereka candi ini semula tertimbung dan berada di bawah pohon elo besar. Setelah diekskavasi, sebagian mulai direkonstruksi. Namun karena banyaknya batu yang hilang dan kurangnya dana, maka sampai kini batu-batu itu masih teronggok berserakan. Di lokasi semula, masih terlihat sejumlah batu dalam susunan yang tinggal sebagian dalam lubang galian. [caption id="attachment_279012" align="alignnone" width="300" caption="sebagian reruntuhan hasil ekskavasi Candi Morangan yang teronggok berserakan"]

1379258957551932436

[/caption] Kira-kira setengah jam istirahat di candi Morangan, saya pamitan kepada bapak-bapak petugas untuk melanjutkan perjalanan. Dari selatan candi saya ikuti jalan aspal kecil yang lumayan halus ke arah barat hingga tembus jalan Cangkringan. Saya melintas jlan terus ke arah barat menelusur jalan aspal yang agak rusak di antara sawah yang sebagian tengah panen lombok dan sayuran lainnya, melintasi Wonolelo, kemudian pasar Jangkang. Jalanan yang menurun membuat saya santai tak perlu mengayuh, dan sebelum jam 07.30 saya tiba kembali di rumah. Rasa capek dan pegal-pegal di kaki, karena sudah cukup lama tidak mengayuh. Namun udara segar sata mengayuh ditengah persawahan cukup melegakan.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline