Mengikuti siaran Metro TV pagi ini, saya sempat heran, ketika si redaktur yang bernama Kohar ..... yang diikuti beberapa penilpun menyebutkan bahwa dengan anggaran pendidikan 20% dari APBN, sekolah-sekolah ltu sudah melimpah dana; namun masih banyak mengadakan pungutan kepada siswanya. Anehnya juga, ada seorang penilpun dari Tegal yang nampaknya seorang guru, mengeluhkan pungutan Rp. 200,000 ketika anaknya lulus SMA.
Sebuah pertanyaan : Betulkah dengan anggaran pendidikan 20%, sekolah dibanjiri dana melimpah?? Mereka yang sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan lembaga sekolah, begitu yakin bahwa sekolah telah dibanjiri dana secara melimpah. Sementara mereka yang berkecimpung di lembaga sekolah, mereka sama sekali tidak melihat adanya dana untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Mengapa? Anggaran yang dikucurkan melalui BOS, untuk penggunaannya sudah diatur peruntukannya.
Untuk keperluan perkemahan, misalkan, dana BOS tidak bisa digunakan karena itu tidak sesuai dengan peruntukan dana BOS. Demikian juga ketika sekolah harus membayar penjaga malam dna guru maupun tenaga honorer, dana BOS tidak bisa digunakan, karena tidak sesuai dengan peruntukan yang diijinkan. Jika dana tidak terserap, kemudian dana itu juga harus dikembalikan ke kas negara.
Seorang kepala SMP di Gunungkidul, harus membayar honor beberapa guru honorer yang ada dari gaji yang diterima oleh kepala sekolah tersebut, yang mestinya gaji itu adalah untuk kepentingan si kepala sekolah dan keluarganya. Mengapa? Penggunaan dana BOS untuk honor hanya diijinkan 20%, sementara 75 % guru di sekolah itu adalah tenga honorer yang tidak digaji sebagaimana PNS. Sehingga sekedar untuk memenuhi gaji guru honorer sebesar Rp. 200.000,- per bulan pun pihak kepala sekolah harus mengambil jatah keluarganya untuk memberikan hak si guru honorer.Mengapa pula kepala sekolah harus menanggungnya? Degan ketentuan adanya dana BOS, sekolah tidak boleh menarik iuran kepada orang tua siswa. Lantas darimana dana harus diperoleh untuk mebayar honor para tenaga honorer di sekolah tersebut? Jika mereka tidak dipenuhi haknya berupa honor yang juga sangat kecil, sanggupkah anda membayangkan bagaimana nasib para murid di sekolah tersebut?
Jika di beberapa sekolah (teruatama yang dengan embel-embel SSN, SBI/RSBI) seakan-akan berlomba menarik iuran kepada para siswanya, janganlah hal itu kemudian digeneralisir bahwa semua sekolah melakukan hal seperti itu.
Tuduhan bahwa PARA GURU ADALAH PEMERAS yang dilontarkan oleh yang mulia BAPAK BAHAR dari Bekasi sungguh sangat menyakiti hati kami di Gunungkidul yang bahkan hrus mengorbankan sebagian uang gajinya untuk membiayai kegiatan ulangan siswanya. Untuk keperluan ulangan sebanyak 130 siswa si guru harus memfotokopi sendiri soal yang akan dibagikan, tanpa memungut kepada siswanya, juga tidak meminta ganti keada sekolah karena tidak ada anggran yang sesuai untuk keperluan itu. Jika hanya sekali ulangan, mungkin bukan masalah, Namun jika dalam satu bulan dua kali ulangan, itu sama dengan biaya transportasi selama seminggu.
Saya mengharap kepada redaktur yang bernama Kohar dari Media Indonesia, suatu saat datang di sekolah kami di Gunungkidul, ntuk menyaksikan sendiri. ADAKAH KAMI MEMERAS SISWA untuk kepentingan guru?????? Jika anda tidak sanggup membuktikan omongan anda, sebaiknya anda bertobat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H