Lihat ke Halaman Asli

Insiden Tanjung Berakit, “Indonesia Vs Malaysia”: Perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Internasional

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kronologis, tempat & waktu insiden

Insiden terjadi pada tanggal 13 Agustus 2010, Lima orang petugas DKP propinsi Kepri melakukan patroli di sepanjang perairan Tanjung Berakit dengan kapal Dholpin 015. Saat patroli, Kelima petugas DKP tersebut melihat lima kapan nelayan Malaysia sedang menjaring ikan di perairan Tanjung Berakit, Indonesia. Karena diduga melanggar hukum laut internasional, tujuh nelayan Malaysia dan kapal nelayan diamankan dan di bawa ke markas Polair Sekupang, Batam. Karena keterbatasan personel, petugas DKP membagi tugas, dimana 2 petugas DKP membawa nelayan Malaysia dan 3 petugas DKP membawa kelima kapal nelayan Malaysia dengan cara digandeng. Dalam perjalanan iring-iringan ke markas polair Sekupang, Batam, tiba-tiba polisi laut Malaysia menghadangnya dan meminta nelayan Malaysia dibebaskan. Dua petugas DKP berhasil membawa tujuh nelayan Malaysia ke markas Polair Sekupang, Batam namun tiga petugas DKP lainnya ditangkap polisi Malaysia dan dibawa ke Johor, Malaysia.

Perspektif hukum Indonesia dan hukum internasional

Mengacu pada hukum laut international, yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan PBB, penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas DKP dapat dibenarkan karena beberapa alasan. Pertama, penangkapan nelayan Malaysia dan penyitaan kapal oleh petugas DKP terjadi di wilayah kedaulan RI. Kedua, kapal nelayan Malaysia sedang mencuri ikan (illegal fishing) diperairan Indonesia.Berdasarkan ketentuan Perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam UU. No.9 Tahun 1996, Indonesia berdaulat penuh atas kekayaan alam yang terkandung di perairan Indonesia. Oleh karena itu, negara lain tidak boleh menangkap ikan di perairan Indonesia. Menurut UU No.5 tahun 1983, Indonesia berdaulat penuh atas kekayaan alam di perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan terhadap pelanggaran ketentuan ini nelayan Malaysia tersebut dapat dipidana dan disita kapalnya. “Asas territorial” yang dianut Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 KUHP dapat mempidanakan nelayan asal Malaysia tersebut. Pasal 2 KUHP menekankan bahwa yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempermasalahkan siapa orangnya. Ini berarti baik terhadap WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana berdasarkan Hukum Indonesia.

Ditinjau dari perspektif hukum internasional, Insiden tembakan peringatan dan penangkapan oleh polisi laut Malaysia terhadap tiga petugas DKP tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hukum internasional. Pertama, penangkapan tiga petugas DKP tersebut dilakukan diwilayah perairan Indonesia. Kedua, petugas DKP tersebut tidak melakukan tindakan yang melanggar teritorial laut Malaysia. Namun sebaliknya, polisi laut Malaysia yang memasuki territorial laut Indonesia. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhamad (Jakarta, 15/8/2010), menyatakan insiden patroli petugas DKP dengan polisi laut Malaysia terjadi di perairan Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada dasar bagi polisi laut Malaysia untuk menangkap petugas DKP tersebut.

Sebagai bangsa yang bermartabat, pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang tepat, yaitu akan menegur pemerintah Malaysia terkait insiden ini. Langkah selanjutnya, pemerintah Indonesia sesegera mungkin melalui pemerintah Malaysia mengembalikan ketiga petugas DKP yang ditahan Malaysia ke Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline