Akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas adalah suatu keniscayaan, oleh karena itu harus menjadi perhatian dan diupayakan pemenuhannya. Baru saja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi menerbitkan regulasi terkait dengan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas. Tulisan ini akan membahas tentang apa urgensi dan bagaimana pemenuhannya dari akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas? Apa yang dimaksud dengan Extra-Curriculum Training (ECT) disabilitas? Bagaimana ECT disabilitas sebagai alternatif solusi pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas?
Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan (pasal 1 ayat (1), Permendikbudristek Nomor 48 tahun 2023). Terbitnya Permendikbudristek Nomor 48 tahun 2023 tersebut memberikan jaminan terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya pendidikan yang bermutu bagi penyandang disabilitas hingga jenjang pendidikan tinggi.
Sesuai dengan pasal 3 dalam Permendikbudristek tersebut, penyediaan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan, Pemerintah Daerah, Penyelenggara Satuan Pendidikan, dan Satuan Pendidikan baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal, yang dilakukan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan baik secara inklusif maupun secara khusus di sekolah luar biasa. Bentuk fasilitasi penyediaan Akomodasi yang Layak bagi peserta didik penyandang disabilitas dilakukan paling sedikit melalui: (a) penyediaan dukungan anggaran dan/atau bantuan pendanaan; (b) penyediaan sarana dan prasarana; (c) penyiapan dan penyediaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan (d) penyediaan kurikulum.
Bentuk Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas disediakan oleh Satuan Pendidikan berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas dengan memperhatikan: (a) standar nasional pendidikan; dan (b) standar nasional pendidikan tinggi. Penyediaan bentuk Akomodasi yang Layak bagi peserta didik penyandang disabilitas didasarkan pada hasil asesmen fungsional dilaksanakan oleh Satuan Pendidikan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi, hambatan, dan kebutuhan peserta didik penyandang disabilitas.
Untuk meningkatkan validitas data hasil asesmen fungsional satuan pendidikan melakukan konsultasi yang melibatkan Peserta Didik Penyandang Disabilitas, orang tua/wali, dan difasilitasi Unit Layanan Disabilitas (ULD). Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas. Unit Layanan Disabilitas pada Pendidikan Anak Usia Dini formal, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pemenuhannya wajib difasilitasi oleh Pemerintah Daerah melalui dinas pendidikan yang sesuai dengan kewenangannya. Sedangkan, Menteri Pendidikan memfasilitasi pembentukan ULD pada pendidikan tinggi yang menjadi kewenangannya. Permendikbud ini menegaskan bahwa setiap Perguruan Tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.
Universitas Negeri Semarang (UNNES) sebagai Perguruan Tinggi Negeri di Kota Semarang, Jawa Tengah memiliki program studi pendidikan dari jenjang S1, S2, dan S3. Tentunya diharapkan lulusannya menjadi guru-guru handal dan professional yang menguasai materi khususnya pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Guru merupakan komponen penting sebagai agen perubahan (agent of change), artinya bahwa keberadaan guru akan mampu membawa perubahan ke arah kemajuan bukan hanya bagi siswa, tetapi juga untuk kemajuan sebuah negara.
Kenyataan guru-guru matematika lulusan UNNES tidak memiliki wawasan dan pengetahuan terkait dengan disabilitas, karena belum adanya dukungan Kurikulum perkuliahan dan program studi terkait dengan pendidikan khusus. Fakta lainnya bahwa di era zonasi sekarang ini semua sekolah adalah sekolah inklusi. Mereka akan dihadapkan pada kondisi siswa disabilitas yang sekolah di sekolah reguler. Data lainnya menunjukkan bahwa baru sekitar 2,8% penyandang disabilitas menyelesaikan pendidikan di jenjang pendidikan tinggi, pada hal pendidikan adalah hak dasar setiap individu. Oleh karena itu, pemenuhan Akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas menjadi hal penting dan bersifat sangat mendesak. Perguruan Tinggi yang menghasilkan guru dan satuan-satuan pendidikan didorong untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang merata bagi peserta didik disabilitas.
Survey yang pernah penulis lakukan terhadap guru SLB di Jawa Tengah hasilnya menunjukkan bahwa Guru Matematika di SMPLB dan SMALB kurang menguasai materi matematika yang diajarkan, hal ini bukan semata-mata disebabkan ketunaan siswanya tetapi guru matematika di SMPLB dan SMALB kebanyakan bukan lulusan Pendidikan matematika. Dengan ECT, mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UNNES setelah lulus disamping memiliki kemampuan penguasaan materi matematika, lulusannya siap mengajar matematika untuk penyandang disabilitas baik di kelas SLB maupun kelas inklusif. Hal itulah ECT sebagai alternatif solusi pemenuhan akomodasi yang layak untuk peserta didik disabilitas.
Survey dilakukan pada mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa cukup banyak mahasiswa yang berminat untuk menjadi guru matematika di SLB, baik di jenjang SDLB, SMPLB atau SMALB. Pada hal lulusan S1 Pendidikan matematika tidak dibekali pengetahuan dan keahlian tentang ke SLB-an. Hal ini yang mendorong mengembangkan kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) disabilitas bagi calon guru pendidikan matematika di FMIPA Unnes.
Kegiatan Extra-Curriculum Training (ECT) adalah suatu kegiatan semi perkuliahan yang dilaksanakan di luar kegiatan perkuliahan formal yang terjadwal dan bersifat peminatan bagi pesertanya. Peserta ECT adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FMIPA UNNES yang berminat belajar tentang disabilitas. Karena pelaksanaannya di luar kegiatan perkuliahan formal yang terjadwal dan pesertanya adalah mahasiswa yang berminat saja, maka kegiatan ini dapat disebut sebagai pelatihan ekstra-kurikuler atau ECT.
Materi dalam kegiatan ECT meliputi teori, praktek, dan kunjungan ke SLB. Materi pelatihan yang berorientasi teori antara lain konsep ABK, karakteristik ABK, Layanan pendidikan bagi ABK, Pendidikan Inklusif, Kurikulum dan bahan ajar bagi ABK. Materi yang berupa praktek antara lain pengenalan bahas isyarat baik Bisindo dan SIBI, pelatihan penulisan Braille, dan pembuatan perangkat pembelajaran ABK termasuk pembuatan media atau alat peraga matematika untuk ABK. Sedangkan dalam rangka meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa peserta ECT, dilakukan kunjungan ke sekolah luar biasa.