Lihat ke Halaman Asli

Teha Sugiyo

mea culpa, mea maxima culpa

Memilih yang Terbaik

Diperbarui: 9 November 2016   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: sesawi.net

MEMILIH

Pada saat pemilu atau pilkada berlangsung,  ada banyak hal yang dapat kita saksikan. Ada banyak pemilih yang sudah terdaftar dan kemudian melakukan hak pilihnya sesuai dengan keinginannya. Ada yang memilih berdasarkan nama orang yang dikenalnya, ada yang memilih nama lembaga politik, sesuai dengan gambar partai. Ada juga yang memilih untuk menyaksikan saja proses pemilihan yang sedang berlangsung. Semuanya sah-sah saja.

Hasil dari proses memilih disebut: pilihan. Ada kepuasan tertentu saat kita telah memilih sesuai dengan keinginan, dan pilihan kita menjadi pemenang. Kita  menjadi lega, senyum sumringah atau berceloteh sukaria. Jika pilihan kita bukan menjadi pemenang, secara manusiawi kita kecewa. Namun kita tidak perlu bereaksi berlebihan. Pada saat seperti itu diperlukan kearifan untuk dengan legowo dan ikhlas mensyukuri hasil dan dampak dari pilihan kita.

Dengan demikian kita menjadi semakin dewasa dalam menjalani kehidupan yang pada hakikatnya memang merupakan proses memilih. Seperti yang sering kita dengar, “hidup ini adalah pilihan”. Maka menjadi penting untuk tidak salah menentukan pilihan, termasuk memilih tindakan.

Dalam hal bekerja pun demikian. Terlepas dari disiplin kerja, pada hakikatnya keberadaan kita di tempat kerja adalah karena kita memang memilih berada di situ. Padahal ada pilihan lain, yaitu berada di rumah atau di tempat lain. Selanjutnya kita harus siap karena tidak ada jaminan apakah hasil pekerjaan kita hari ini menjadi “pemenang” ataukah tidak, sekalipun kita telah melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal itu wajar saja, karena apa yang kita kerjakan merupakan rangkaian pekerjaan besar yang secara internal melibatkan banyak orang, termasuk rekan kerja, bahkan atasan. Bisa jadi hari ini ada di antara mereka yang kecewa.

Ada banyak pengalaman yang membuat kita dapat dengan bebas menentukan pilihan tindakan yang selanjutnya dapat kita laksanakan dengan lancar-lancar saja. Ada juga pengalaman yang membuat kita harus berjuang mati-matian untuk tetap setia dalam melakukan pilihan tindakan kita. Ada juga saatnya kita menghadapi pilihan yang sulit. Apalagi memilih seorang pemimpin yang akan menentukan hidup masa depan kita, baik sebagai pribadi, komunitas, warga maupun bangsa.

Pemimpin yang baik bukannya sekadar perintah dan marah-marah. Bukan pula memimpin dengan dua jari: telunjuk dan jempol, tetapi yang mengedepankan kepentingan bersama, mumpuni dalam mengatur, mengarahkan, menjadi teladan dalam pola pikir, pola ucap dan pola tindak,   mengayomi, melindungi, memotivasi dan bahkan menginspirasi.

Saya sendiri pernah dihadapkan pada pilihan yang sulit, dilematis dan sama-sama berisiko tinggi. Dalam hal seperti itu jujur saya katakan, ada rasa kegamangan, keraguan, kecemasan, kekhawatiran, was-was, takut bahkan merasa tak berdaya. Kadang ada rasa takut dan cemas menghadapi kenyataan yang seringkali kita bayangkan dalam persepsi kita sendiri. Kita seringkali takut dan cemas akan bayang-bayang yang kita ciptakan sendiri. Padahal belum tentu yang kita persepsikan itu benar. Pada saat-saat semacam itu saya diingatkan oleh berbagai referensi yang pernah saya dengar, baca dan  alami sendiri.

“Ketakutan itu harus dilawan!”

“Tanya pada diri sendiri kemungkinan terburuk yang bakal terjadi, siapkan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk itu, lalu perbaiki kondisi agar kemungkinan terburuk itu tidak terjadi”,  kata Dale Carnegie.

“Tuliskan segala kesedihan, termasuk segala hal yang mengganggu (juga ketakutan dan kecemasan) dalam selembar kertas, lalu larungkan ke sungai”, kata Paulo Coelho.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline