Lihat ke Halaman Asli

Teha Sugiyo

mea culpa, mea maxima culpa

Bosan Kerja atawa Jenuh?

Diperbarui: 15 Februari 2016   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: www.shutterstock.com"][/caption]“Berapa lama Anda sudah bekerja di perusahaan ini?” tanya saya kepada seorang rekan yang selalu merengek-rengek minta tolong untuk disampaikan kepada Manajer HRD tentang permohonannya pensiun dini.

“Delapan belas tahun”, jawabnya dengan wajah kesal. “Saya sudah bosan. Saya sudah jenuh. Saya pengin tinggal di rumah saja, menikmati hidup dengan penghasilan suami. Lagian rumah saya jauh dari kantor. Mana anak-anak membutuhkan saya..”

“Nanti kalau lama-lama di rumah, Anda ribut lagi minta dicarikan pekerjaan. Begitu?” ledek saya.

 “Ya enggaklah...” katanya sambil menyungging senyum.

Pada kesempatan berbeda, saya menjumpai seorang teman lain yang sudah 11 tahun bekerja di tempat yang sama, dengan jenis pekerjaan yang sama, namun ia tidak pernah menampakkan rasa jenuh.

“Apa sih rahasianya?” tanya saya.

“Cinta!” jawabnya telak sambil menggelegarkan tawanya hwa hwa hwa...

Ya, memang. Pada umumnya, pikiran dan ucapan bosan dan jenuh pernah melintas atau bahkan terucap dari orang yang  dalam waktu relatif lama melakukan pekerjaan dan rutinitas yang tunggal nada.

“Bosan”, padanan kata lainnya adalah “jenuh”, artinya sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering. Ada kata lain yang juga menggambarkan kondisi semacam itu, yaitu stagnan, artinya menggenang, mandek, membosankan. Jadi, setiap pekerjaan yang secara rutin dilakukan dalam waktu lama, mempunyai resiko membosankan. Efek dari rasa jenuh dan bosan itu ternyata tidak sepele. Ada yang berakibat penurunan kinerja, ada juga yang berakibat peningkatan kinerja.

Ada apa di balik rasa jenuh tersebut? Orang yang menghadapi rasa jenuh dalam pekerjaan, sebenarnya sedang menghadapi konflik approach-avoidance. Artinya, di satu sisi pekerjaan itu bagi dia sangat menjemukan (avoidance), di sisi lain dia merasa membutuhkannya (approach), karena selain memberikan jaminan finansial, juga memberikan jaminan rasa aman. Dilihat dari berbagai tarikan serta tolakan yang dialami, rasa-rasanya akan dibutuhkan energi yang luar biasa bagi siapa pun untuk terlepas dari kondisi kerja yang menjemukan.

Adakalanya orang merasa judek, mentok, stagnan, macet, mandek dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana bersikap apabila rasa jenuh itu terus-menerus membayangi pikiran, sekalipun terus diatasi?  Ada banyak hal yang dapat dimanfaatkan untuk menangani kejenuhan dan kebosanan itu. Dalam sejarah dunia kerja, ada tiga alternatif terhormat yang dapat dimanfaatkan untuk menyiasati rasa jenuh dan bosan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline