Lihat ke Halaman Asli

Teha Sugiyo

mea culpa, mea maxima culpa

Surat Seorang Guru kepada Muridnya

Diperbarui: 25 November 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: www.sesawi.net

 

Hikmah dari Keluarga

Novi yang baik,

“Jadikan agama sebagai landasan hidup! Jangan permainkan agama, karena agama bukan mainan!” Itulah kata-kata orangtua yang tak bosan-bosannya mereka ucapkan kepadamu. Kau menganggapnya hal itu biasa saja, dan tak pernah kausadari apa makna sebenarnya. Semakin sering mama, papa dan bahkan tantemu mengucapkannya, semakin kau justru tak mempedulikannya. Akhir-akhir ini, bahkan tantemu bilang, “Janganlah terlalu dikendalikan oleh perasaan sehingga kita tak bisa melihat kenyataan dan memutuskan sesuatu dengan tegas”. Kata-kata itu sedikit pun juga tak menyentuh hatimu.  Baru setelah kau tersandung dan kena batunya, kau jadi sadar dan lebih ngeh akan kebenaran kata-kata orang tuamu.

Lima bulan sudah kau menjalin hubungan khusus dengan I Made Maharupa Sudewa, teman sekampus yang berasal dari Bali. Kau katakan bahwa hubunganmu sangat romantis dan berjalan indah dan lancar-lancar saja.

Seiring bergulirnya waktu, perasaanmu mulai bimbang, manakala papa dan mama, juga tantemu terus-menerus menasihati dengan  kata-kata yang sama. Waktu demi waktu kau lewati untuk merenungkan semuanya itu. Akhirnya kau yakin bahwa hubunganmu dengan Madelah penyebabnya. Hubungan yang dibatasi oleh beda agama. Kau dibesarkan dalam agama Islam yang ketat. Made pun dibesarkan dalam ajaran Hindu yang taat. Perbedaan yang sangat jelas, yang semakin kau renungkan, semakin jelas menyeretmu ke sebuah kenyataan yang sangat pahit dan kau mulai sadar bahwa ternyata jurang perbedaan itu sangat sulit kalian jembatani. Beruntunglah kau dapat menggunakan pikiranmu secara jernih, sehingga kau berani ambil resiko menghadapi kenyataan pahit ini dengan tegar.

Dalam kepedihan itu, kau pun menelpon Made untuk membicarakan masalah kalian berdua. Esoknya pukul 14.15 Made datang dengan jeepnya menjemputmu dengan dandanan yang khas, yang menurutmu dia begitu manis, sehingga kau terasa berat mengutarakan niatmu.  Tanpa banyak bicara Made langsung mengajakmu ke sebuah rumah makan di Lembang, tempat yang sudah biasa kalian kunjungi.

“Made, aku ingin bicara serius tentang hubungan kita,” kau membuka percakapan sambil menunggu pesanan. Tanpa berani menatap matanya secara langsung, kau menunduk dan menyembunyikan matamu, takut kalau kau tidak dapat mengendalikan emosimu..

“Tentang hubungan kita?” Made bertanya agak terkejut. “Memang ada apa? Bukankah selama ini baik-baik saja?” katanya dengan wajah tanpa dosa.

“Apakah kau tidak sadar akan perbedaan kita, Made?” kau coba menatapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline