Lihat ke Halaman Asli

Surat Kecil untuk Bupati Bengkulu Selatan

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13762042081933910990

[caption id="attachment_280264" align="alignnone" width="730" caption="Kantor Bupati Bengkulu Selatan. (istimewa)"][/caption] Hal : Demonstrasi tanpa anarki Kepada Yth,

Bupati Bengkulu Selatan

Jalan Raya Padang Panjang No. 1 Manna

Bengkulu

Assalammu'alaikum, wr.wb.

Mengawali perbincangan kali ini, ijinkan saya mengutip salah satu kata bijak yang pernah ditulis Soe Hok Gie, seorang penulis sekaligus aktivis mahasiswa pada era 1966. Semoga Anda memahami maknanya.

“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik, Soe Hok Gie.

Tentu ada alasan kenapa saya melayangkan tulisan ini. Hal utama yang membuat saya terpanggil lantaran kebobrokan yang terjadi di Bengkulu Selatan selama beberapa tahun terakhir. Tanah Serawai yang dahulu pernah menjadi tempat saya belajar berjalan, berbicara, dan menulis –kini mulai tak nyaman ditempati.

Semisal, jalanan kota rusak parah, pariwisata suram, budaya lenyap, sejarah kian teredam, perikanan dan perkebunan juga tinggal nama, hingga mutasi jabatan yang terus menjadi trending topic dalam obrolan ringan di tengah masyarakat Bengkulu Selatan.

Saya dan beberapa orang mahasiswa yang masih punya kepedulian akan Bengkulu Selatan, acapkali membahas fenomena yang terjadi tentang kabupaten ini. Mulai dari masalah pendidikan, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pariwisata, sosial, hingga budayanya.

Beberapa mahasiswa yang kuliah di luar provinsi dan berprestasi di daerah tirinya juga pernah saya tanya, “setelah lulus mau ke mana, pulang kampungkah?” mereka menggelengkan kepala. “Ingin berkarir di sini. Pulang kampung cukup setahun sekali -saat lebaran,” jawab mereka.

Miris. Jika mendengar jawaban dari para generasi muda yang seharusnya menjadi motor penggerak suatu daerah -melalui pemikiran fresh yang dimiliki. Mereka malah memalingkan muka ke daerah lain bahkan ke luar negeri. Inikah akibat pudarnya rasa cinta pada tanah kelahiran ataukah bentuk kesengajaan mereka lantaran tak dihargai di tanah sendiri?

Tak puas berbincang dengan golongan mahasiswa, saya pun berbincang dengan para penduduk lokal yang juga pernah saya temui, di antaranya budayawan, sejarahwan, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, hingga rakyat biasa.

Rata-rata jawaban yang mereka lontarkan tentang Bengkulu Selatan adalah negatif. Meski ada pula yang tetap berpikir positif mengenai kondisi daerah saat ini. Mereka merupakan suara minoritas yang tak terekspose media –yang tertutup kabut determinan penguasa.

Di ujung masa jabatan, dua tahun ke depan adalah waktu yang cukup lama untuk membenahi Bengkulu Selatan dari berbagai bidang baik internal maupun eksternal –agar masyarakatnya tak lagi bergosip miring di warung kopi.

Semoga apa yang saya sampaikan di surat ini mampu dimaknai positif. Salam damai Indonesia. Demonstrasi tanpa anarki dan tanpa merusak fasilitas umum merupakan aktivitas terpuji selaku MAHAsiswa. Wassalammu'alaikum, wr. wb.

“Orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran keras baginya lembut –daripada sanjungan merdu dari penjilat yang berlebih-lebihan,” Thales, salah seorang tokoh Filsafat Yunani di abad ke-6 SM.

Manna, 8 Agustus 2013

Salam hormat,

Sugiharto Purnama, warga asal Bengkulu Selatan yang kini menjadi salah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Bandung, Jawa Barat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline