Apabila kita berbicara terkait dengan stunting itu merupakan permasalahan yang sangat serius, karena dalam suatu negara hal tersebut sangatlah fundamental. Ketika anak sebagai tonggak penerus bangsa mengalami kegagalan dalam pertumbuhan maka dapat menyebabkan permasalahan yang sangat serius dimasa yang akan datang. Secara terminology sendiri kata stunting merupakan istilah yang biasa dipakai ketika terdapat gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis, banyak sekali faktor yang mendasari terjadi terjadinya stunting, misalnya saja pernikahan dini dalam hubungan dapat mempengaruhi. Sebab cikal bakal orang tua menjadi kunci utama dalam membina anak, apabila dirasa kurang komprehensif dalam hal tersebut akan membuat semakin runyam.
Menurut data dari Pengadilan Agama Surabaya sejak awal Januari sampai Desember 2022 terdapat 264 dispensasi kawin kepada calon suami atau istri yang berusia dibawah 19 tahun. Sedangkan, di tahun 2023 dari Januari sampai September terdapat 164 permohonan dispensasi kawin. Dalam hal ini pengaruh utamanya adalah pendidikan, sebab orang tua yang tingkat pendidikanya rendah akan cenderung mengawinkan anaknya yang usianya masih muda. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah mengakibatkan orang tua sulit memperoleh pekerjaan layak dan menghidupi anak-anaknya dengan baik terutama untuk akses pendidikan. Sehingga orang tua lebih memilih untuk menikahkan anaknya dari pada menambah beban hidup keluarganya. Padahal pendidikan berperan penting agar masa depan anak-anak lebih terarah dan tertuju kepada apa yang mereka cita-citakan.
Dalam peristiwa ini seharusnya pemerintah memiliki andil lebih terkait kebijakan yang dapat meminimalisir terjadinya pernikahan dini di aspek pendidikan maupun ekonomi. Pada era kepemimpinan Eri Cahyadi selaku Wali Kota Surabaya mempunyai caranya tersendiri dalam memberantasnya. Misalnya, menghilangkan perbedaan sekolah negeri dan swasta sampai menghapus pr dengan Pendidikan karakter untuk berupaya menjadikan pelayanan pendidikan dasar sebagai penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan menjadi kosentrasi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Sasaran utama dari program ini mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur (Jatim), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2022 Kota Surabaya menjadi yang tertinggi di Provinsi Jatim. Angkanya terus meningkat sejak tahun 2020 tercatat sebesar 82,23, tetapi di tahun 2021 menjadi 82,31, kemudian pada tahun 2022 mencapai 82,74. Nilai ini menunjukkan bahwa kualitas pembangunan manusia di Kota Pahlawan berada pada kelompok status kategori sangat tinggi.
Dilansir dari situs PEMKOT SURABAYA, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan "Untuk mencapai hal tersebut, Pemkot Surabaya membutuhkan keterlibatan semua elemen," kata Wali Kota Eri, Rabu (28/12/2022). Salah satu elemen yang dimaksudkan oleh beliau ialah terpengaruhnya IPM dalam lamanya seseorang menempuh pendidikan tinggi yang mengakibatkan bertahannya angket di angka 82,74. Problem solving dari permasalahan ini adalah keterlibatan mahasiswa untuk menjadi pengajar muda dan melakukan pendampingan dari sisi akademis dan non akademis siswa sebagai bentuk implementasi dari tri dharma perguruan tinggi.
Perkara Ekonomi juga tidak bisa dianggap remeh dalam menanggulangi kasus stunting di Surabaya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan di Kota Surabaya pada tahun 2020 mencapai 154,8 ribu jiwa, sedangkan di tahun 2021 sebesar 152,2 ribu jiwa dan berdampak pada kemiskinan sebesar 136,37 ribu jiwa di tahun 2023. Penurunan pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi adalah muara dari permasalahan stunting.
Seharusnya, dari visi yang dituangkan oleh Eri Cahyadi selaku Wali Kota Surabaya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) difokuskan pada permasalahan-permasalahan yang dapat mengatasi persoalan stunting sebagai start awal untuk generasi emas 2045. Tetapi yang sangat disayangkan dari akhir periode Eri Cahyadi malah bergelut dengan infrakstruktur saja, seperti pengaspalan di seluruh Surabaya dengan dalih masih belum terjangkau secara menyeluruh dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2026 mendatang, padahal Indonesia digadang-gadang akan mencapai puncak kejayaannya. Lantas bagaimana generasi emas dapat tercipta apabila kasus stunting masih dianggap remeh dan tidak melakukan upaya pemberantasan.
Jika kita menggunakan perspektif kapitalis yang dikemukakan oleh Karl Marx, keberpihakan Wali Kota Eri Cahyadi terhadap pembangunan infrastruktur dirasa menguntungkan para pemilik modal yang berdampak terhadap kesenjangan sosial dan malah mempertebal strata klasifikasi sosial. Delusi yang tercipta dari kebijakan tersebut akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Semestinya, bila mengacu pada Pancasila sebagai prinsip dasar hal tersebut justru mencederai asas-asas Pancasila yaitu sila ke-2 yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan sila ke-3 yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Lantas dari sini seluruh stakeholder harus berperan aktif dalam menanggulangi stunting. Seperti partisipasi orang tua dalam mengedukasi anak untuk mencegah pernikahan dini, peran pemerintah dalam kebijakan permasalahan kemiskinan, serta mahasiswa untuk mengeksekusi tri dharma perguruan tinggi. Meski segala lini sudah terpenuhi tidak menutup kemungkinan permasalahan stunting dapat teratasi tetapi segala cara tetap harus dicoba agar permasalahan-permasalahan yang ada di Surabaya tidak menumpuk untuk generasi selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H