Suara adalah pemberian Tuhan yang sangat istimewa. Kehadirannya dalam melengkapi karya Tuhan dalam tubuh manusia telah menjadi sarana penting dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, berkomunikasi. Jutaan makna akhirnya dapat tersirat jelas dengan suara, namun sebaliknya, suara juga mampu menciptakan ribuan makna ambigu yang dapat mengubah sistem sosial bahkan suatu peradaban.
Suara juga dapat menggambarkan identitas diri seseorang bahkan tanpa kita perlu melihat fisiknya. Intonasi yang terdengar berat, tinggi, halus, besar,kecil, dapat menjadi penanda identitas seseorang baik itu laki-laki atau perempuan, atau dapat membuat orang lain menerka kepribadian sesamanya.
Suara rendah dan terdengar berat mungkin biasa untuk menggambarkan identitas seorang pria, namun bila dimiliki wanita, hal ini bisa menyebabkan dua kemungkinan. Pertama, bila wanita bersuara rendah dan berat layaknya laki-laki maka akan terdengar aneh dan sedikit mengganggu bila didengar orang lain. Kedua, orang lain yang mendengarnya dapat menganggap itu unik dan berpotensi untuk banyak hal . Saya yang kerap disapa Ririn ini mungkin menjawab kemungkinan yang kedua.
Saya adalah permata hati dari pasangan Salmon Andy Sugiarto dan Yustina Sorongan dengan nama lengkap Irine Angelina Sugiarto. Kelahiran saya di dunia tepat tanggal 31 Juli 1996 di Tanjung Redeb menjadi sejarah indah bagi mereka karena kelahiran putri kecil mereka ini. Nama Irine Angelina Sugiarto sendiri menjadi ungkapan dan mimpi bagi mereka bahwa buah hatinya ini merupakan anugerah dari Tuhan yang dapat membawa damai sejahtera bagi orang-orang disekitarnya dan diberi kelimpahan rezeki oleh Sang Maha Kuasa.
Saya lahir tepatnya dini hari di sebuah rumah kayu kediaman ibuku Yustina Sorongan. Seperti suatu kebetulan, beberapa rumah sakit kandungan di Berau saat itu penuh dengan pelayanan kelahiran sehingga membuat ibu saya pasrah dengan kelahirannya yang dilakukan di kamar tidur pribadi. Lahir dengan kondisi yang cukup sehat, 4,2 kg dengan tinggi 51 cm membuat seluruh keluarga yang saat itu menyaksikan kelahiran saya dipenuhi dengan sukacita dan rasa syukur yang tak dapat tergambarkan dengan apapun. Semakin hari saya tumbuh dengan baik yang dibarengi oleh doa dan nyanyian pujian ibu saya. Setiap pagi, orang tua saya selalu mengambil waktu untuk memanjatkan doa sambil menaikkan lagu pujian rohani yang sengaja didengarkan ke buah hatinya.
Sebulan kemudian, saya dan kedua orang tua saya waktu itu terpaksa meninggalkan Tg. Redeb karena bapak yang dipindahtugaskan ke Balikpapan untuk bekerja disana. Akhirnya saya harus menikmati perjalanan pesawat kecil yang sebenarnya sangat mengancam kesehatan saya yang waktu itu masih bayi dan berusia satu bulan, notabene rentan dengan suara keras, tekanan dan getaran pesawat, terlebih lagi pesawat kecil.
Balikpapan telah mencatat banyak kenangan masa kecil saya dan kedua orang tua. Bahkan lebih banyak daripada tanah kelahiran saya di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau. Banyak cerita dan hal-hal ‘baru’ yang menemani pertumbuhan saya, sang gadis lincah dan aktif ini. Kegemaran saya mulai terlihat ketika berumur 5 tahun. Setiap hari sebelum sekolah (taman kanak-kanak), ibu mengatakan bahwa saya memiliki waktu khusus untuk melihat lirik di televisi sambil mengeluarkan suara merdu di hadapan microphone, ya, karaoke.
Suara saya lebih sering terdengar oleh tetangga ketika bernyanyi daripada saat menangis. Kedua orangtua saya pun sangat mendukung aktivitas anaknya ini dan tidak membatasisedikitpun. Orangtua berusaha memberikan nutrisi bagi tubuh, kemampuan berpikir, kemampuan dalam seni, dan yang terpenting keyakinan dalam beriman dan beragama saya. Bernyanyi menjadi salah satu kegemaran yang menciptakan cerita panjang dan unik dalam uraian kisah hidup saya.
Tinggal di perumahan dengan jumlah anak seusia saya (lima tahun) yang sangat sedikit waktu itu, mengharuskan saya menjalin pertemanan dengan teman-teman yang jauh lebih tua usianya. Oleh sebab itu kemampuan saya dalam berkata-kata juga berusaha dimaksimalkan dan disesuaikan dengan teman ‘sepermainan’. Saya dikenal mampu menjalin percakapan dengan baik dengan teman-teman saya yang sudah memasuki bangku Sekolah Dasar waktu itu. Jadi tidak perlu heran, bila saat ini kemampuan saya dalam berbicara begitu terlihat.
Tumbuh sebagai anak tunggal dengan orang tua yang memberikan pengajaran yang keras dan disiplin membuat saya tidak bisa banyak bermanja-manja. Kedua orangtua saya menuntut untuk bisa mandiri dan berprestasi. Semuanya harus seimbang. Namun seimbang versi orang tua saya waktu itu adalah prestasi akademik harus lebih dibanding yang lain. Tuntutan ini sempat membuat saya sedikit tertekan dan bingung akan arah yang akan saya ambil ketika besar nanti.
Dulunya, saya sempat bernggapan bahwa saya akan menjadi orang yang tertutup, galak, dan kutu buku. Hal ini sempat terjawab ketika saya melewati bangku sekolah dasar, dan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Tepatnya SMP Negeri 1 Balikpapan, satu jawaban orang tua saya terwujud. Meloloskan saya dalam kelas akselerasi yang letaknya sangat terpencil dari lahan sekolah saat itu. Selama dua tahun di bangku akselerasi, saya menjadi anak yang tertutup akan dunia sosial, teman-teman saya hanyalah mereka yang berada dalam satu kelas saya. Saya cukup dibatasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan dunia otak kanan yang membebaskan saya dalam mengeksplor bakat dibidang seni.