Buku Lima Kota, Jangan Buru-buru Menghukum Penerjemah dan Editor
Oleh: Joki Kuda
Saya hanya ingin mengomentari berita di Tempo online, “Editor Buku Penghina Nabi Muhammad Dapat Sanksi” (Kamis 14/Juni/2012) di http://www.tempo.co/read/news/2012/06/14/173410499/Editor-Buku-Penghina-Nabi-Muhammad-Dapat-Sanksi. Sekilas terlihat, penerbit bertindak cepat merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat dengan melakukan koreksi atas kelalaian yang dilakukannya. Akan tetapi, apakah menghukum penerjemah dan editor buku itu langkah yang tepat? Sudahkah verifikasi dilakukan atas teks sumber dan teks terjemahan? Sudahkah penerjemah terbukti keliru menerjemahkan sehingga pesan dalam bahasa sumber tidak sampai di dalam bahasa sasaran? Apakah penerjemah menambah atau menghilangkan bagian yang seharusnya ada atau tidak ada di dalam hasil terjemahannya, kecuali penambahan atau penghilangan akibat perbedaan sintaksis atau gramatika antara teks asli dan teks terjemahan? Apakah kalimat pelecehan atau penghinaan tersebut kalimat penerjemah sendiri ataukah yang bersangkutan hanya mengutip penulis buku yang penerjemah sedang terjemahkan? Lalu, bagaimana dengan pihak penerbit sendiri? Sudahkah penerbit menimbang bahwa buku semacam ini mengandung isu yang sangat sensitif? Oke begini analisis saya:
Apakah menghukum penerjemah dan editor buku itu langkah yang tepat?
Bisa ya bisa tidak.
Ya, tepat jika terbukti penerjemah melakukan kesalahan dalam menerjemahkan sehingga pesan yang disampaikan dalam bahasa sasaran berbeda arti dari pesan asli dalam bahasa sumber dan menyesatkan atau bahkan dapat berakibat fatal. Editor mengetahui tetapi lalai melakukan koreksi. Kesalahan seperti ini layak dihukum.
Tidak tepat jika ternyata penerjemah dan editor sudah melakukan tugas mereka dengan baik, yakni, penerjemah sudah menerjemahkan teks dalam bahasa sumber dengan tepat dalam arti pesan dalam bahasa sumber diteruskan secara utuh dan akurat ke dalam bahasa sasaran (tidak berubah arti). Misalnya “turn right” diterjemahkan menjadi “belok kanan” dan bukan “belok kiri”.
Sudahkah verifikasi dilakukan atas teks sumber dan teks terjemahan?
Ini penting untuk mengetahui apakah penerjemah tidak keliru dalam menerjemahkan. Misalnya, seperti contoh di atas, apakah penerjemah menerjemahkan “turn right” menjadi “belok kanan” bukan “belok kiri” (Lokasi yang dituju ada di sebelah kanan. Ke kiri berarti jurang dalam dan berbahaya [dalam sistem navigasi].) Jika seperti ini masalahnya, menghukum penerjemah dan editor jelas bukan langkah yang tepat. Verifikasi dulu, baru yang lain.
Apakah penerjemah menambah atau menghilangkan bagian yang seharusnya ada atau tidak ada di dalam hasil terjemahannya, kecuali penambahan atau penghilangan akibat perbedaan sintaksis atau gramatika antara teks asli dan teks terjemahan?
Dalam teori penerjemahan, ada istilah ‘gain and loss.’ Artinya kurang lebih “ada yang terbilang dan ada yang hilang.” Di sini, penambahan atau berkurangnya elemen dalam teks terjemahan terjadi karena adanya perbedaan dalam gramatika antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dan tidak mengubah makna. Contohnya, kata sandang “the” dalam “the sun” tidak perlu ada di dalam bahasa sumber. Jadi, “the sun” cukup diterjemahkan menjadi “matahari”. Menerjemahkan “the sun” menjadi “matahari terbit” adalah penambahan yang tidak perlu dan mengubah makna karena dalam bahasa sumber bukan seperti itu pesannya. Begitu juga menerjemahkan “the sun rises” menjadi “matahari” saja adalah penghilangan yang mengubah makna dan salah.
Nah, dalam kasus buku di atas, apakah penerjemah melakukan penambahan atau pun penghilangan kata, frasa atau kalimat atau membuat interpretasi pribadi yang mengakibatkan pesan berubah sama sekali dalam bahasa sasaran? Jika ya, sanksi tentu dapat dijatuhkan atas yang bersangkutan dan editor yang tidak melihat atau mengoreksi kesalahan seperti itu. Jika tidak, jangan jatuhkan sanksi apa pun.
Apakah kalimat pelecehan atau penghinaan tersebut kalimat penerjemah sendiri ataukah yang bersangkutan hanya mengutip penulis buku yang penerjemah sedang terjemahkan?
Jika yang bersangkutan hanya menerjemahkan kalimat penulis buku dan terjemahannya tidak salah, sanksi terhadapnya tidak dapat dibenarkan! Tugas penerjemah adalah menyampaikan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran seakurat dan seutuh mungkin. Penerjemah hanya pembawa pesan. Jangan pembunuh sang pembawa pesan!
Lalu, bagaimana dengan pihak penerbit sendiri? Sudahkah penerbit menimbang bahwa buku semacam ini mengandung isu yang sangat sensitif?
Nah, ini pertanyaan yang penerbit harus jawab sendiri. Dari diskusi beberapa waktu yang lalu, mantan editor senior di penerbit yang menerbitkan buku Lima Kota ini pernah mengungkap bahwa mengingat potensi pro and kontra yang mungkin timbul di berbagai kalangan, penerbit membatalkan niat membeli hak terjemahan novel superlaris karya Dan Brown, The Da Vinci Code. Apakah kali ini penerbit tidak melakukan langkah antisipatif seperti itu?
Salam dari Pinggirkali
Simpati saya untuk Pak Hendry Tanaja dan Herdian Cahya Krishna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H