Lihat ke Halaman Asli

Sugianto PS

Seorang murid, dan selamanya begitu.

Sampuraga, Malin Kundang, Patih Sebatang dan Laksamana Cheng Ho

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13004702221534050902

[caption id="attachment_96955" align="alignleft" width="490" caption="http://dandry.wordpress.com/category/uncategorized/"][/caption]

Sampuraga dan Malin Kundang

Kalau disebutkan nama Sampuraga, apa yang pertama terlintas di pikiran kita? Anak durhaka, bukan? Tapi Sampuraga dari Sumatera Utara bukanlah satu-satunya anak durhaka dalam folklore kepunyaan Indonesia. Ada Malin Kundang dari Sumatera Barat yang jauh lebih terkenal. Juga ada Amat Rhang Mayang dari Aceh yang belum dikenal publik. Last but not least, masih ada juga Sampuraga dari Kalimantan Tengah. Loh kok Sampuraga lagi?

Sampuraga yang kita kenal adalah si anak miskin dari Padang Bolak yang merantau ke negeri Mandailing dan akhirnya menjadi orang kaya, dan saat menyelenggarakan pesta pernikahannya ia dikutuk sang ibu karena kedurhakaannya. Kolam Sampuraga, yang menjadi obyek wisata Pemerintah Mandailing Natal dipercayai sebagai bukti kutukan itu. Setidaknya itulah yang menjadi inti cerita tentang Sampuraga versi Mandailing yang dapat kita baca dari situs berikut: http://tabloidrakyatmadani.wordpress.com/asal-mula-kolam-sampuraga-di-mandailing-natal/

Sampuraga versi lainnya dikisahkan sebagai folktale pada banyak keluarga suku Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Seperti halnya kisah Sampuraga dari Sumatera Utara dan cerita Amat Rhang Mayang dari Aceh, suku Dayak Tomun menganggap cerita Sampuraga sebagai cerita yang benar-benar terjadi di Kalimantan Tengah. Jika kita lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan persepsi yang terkandung di dalamnya, kisah Sampuraga dari Kalimantan Tengah lebih mirip dengan kisah Malin Kundang ketimbang Sampuraga dari Sumatera Utara.

Malin Kundang dan Sampuraga versi Dayak Tomun sama-sama menyebutkan tentang kapal dan tokoh utamanya yang dikutuk ibunya menjadi batu. Kapal Malin Kundang menjadi batu di Pantai Air Manis, Teluk Bayur di Kota Padang. Demikian pula kapal Sampuraga yang menjelma bukit berbentuk kapal 2 kilometer dari tepian sungai Belantikan di desa Karang Besi, Kabupaten Lamandau. Lalu kenapa nama tokohnya sama dengan tokoh anak durhaka dari Sumatera Utara? Suatu kebetulan atau telah terjadi salah persepsi saat ceritanya diwariskan? Lalu siapa penutur aslinya? Bagaimana seharusnya folktale itu diceritakan?

(Karena cerita Sampuraga versi Dayak Tomun bercampur aduk dengan Malin Kundang, saya jadi teringat dengan naskah Puti Bungsu (Wanita Terakhir) karya Wisran Hadi. Beliau menggabungkan tiga mitos dalam narasi berbeda: Malin Kundang, Malin Deman dan Sangkuriang dalam satu ruang teks cerita baru: Puti Bungsu. Jangan-jangan Wisran sendiri yang meramu cerita Sampuraga tersebut? Hehehe...)

Cerita rakyat adalah salah satu bagian dari folklore. Pada umumnya, cerita rakyat hanya berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun. Indonesia- yang terdiri dari berbagai suku bangsa - sangat kaya dengan cerita rakyat, peribahasa, pantun, mitologi, legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya masing-masing. Dilihat dari beragam cerita rakyat yang tersebar di berbagai daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat daerah yang satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal daerah masing-masing.

Saat menulis cerita Sampuraga di Wikipedia saya merasa sedang memainkan genealogi dengan obyeknya tokoh utama dalam folktale tersebut. Sayang sekali saya hanya mengandalkan sisa-sia ingatan seorang staf saya di Lamandau sebagai narasumbernya. Kalau ada di antara pembaca yang lebih mengetahui cerita sebenarnya, dipersilahkan ikut menyuntingnya. Wikipedia milik kita bersama kok.

Kisah Sampuraga

Konon, menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam keluarga suku Dayak Tomun, seorang bangsawan dari sebuah kerajaan di Sumatera berlayar sampai ke kerajaan Petarikan, di hulu sungai Belantikan, pedalaman Kalimantan. Namanya Patih Sebatang. Tidak jelas apakah Patih Sebatang ini sama dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, tokoh legendaris masyarakat Minangkabau.

Di kerajaan yang bersahaja ini, Patih Sebatang dikisahkan berjumpa dengan seorang putri Kerajaan Petarikan yang cantik jelita. Namanya Dayang Ilung, yang digambarkan memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alis matanyanya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Singkat cerita Patih Sebatang jatuh cinta dan akhirnya menikahi sang putri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline