Lihat ke Halaman Asli

Sugeng Abdullah

Mengaku sebagai Sanitarian Indonesia. Ia adalah tipe orang desa yang tidak mau ketinggalan jaman, meskipun kenyataannya selalu ketinggalan. Memiliki latar belakang pesantren (Tebuireng), Kesehatan Lingkungan (SPPH,APK Purwokerto), Keguruan (IKIP Semarang), Teknik Lingkungan (ITS Surabaya)dan Ilmu Lingkungan (UGM Yogyakarta). Ia juga sebagai Dosen di Program Studi D3 dan D4 Kesehatan Lingkungan Purwokerto. Pernah diberi tugas tambahan sebagai Ketua Unit Bengkel Kerja, Koordinator II Bidang Kemahasiswaan, Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Anggota Senat Poltekkes. Penerima Penghargaan Satya Lencana Karya Satya dari Presiden SBY dan Jokowi. Aktif di organisasi HAKLI, APTKLI, MTKP, Koperasi dan Sosial Keagamaan

100% Sate Belum Jelas Kehalalannya

Diperbarui: 29 Juni 2016   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam UU Nomor  7 tahun 1997 khususnya  pasal 44, di sana disebutkan : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan  ….  dipidana  7 (tujuh) tahun”.   Juga disebutkan bahwa  “Barangsiapa dengan sengaja  menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual  kepada umum   suatu ciptaan …  dapat dipidana 5 tahun”.

Bagaimana  dengan “Sate” ? .  Sate yang saya maksudkan ini  bukanlah sate  seperti  yang tergambarkan dalam kepala  pembaca. Bukan sate ayam, sate kambing atau  sate sapi yang  dijual di banyak kota dengan ragam kekhasannya. Bukan pula sate kuda yang konon dapat meningkatkan stamina.  Sate yang penulis maksud adalah  sate sebagai  sebuah akronim.

Pembaca tentu sangat familiar dengan istilah “Copas”.  Sebuah akronim dari copy dan paste.  Copy dalam bahasa Indonesia yang baku  diterjemahkan sebagai  kata  “Salin”, sedangkan  “Paste”  diterjemahkan  sebagai kata “Tempel”. Jika mengacu dengan mekanisme yang sama  dalam membentuk akronim  “Copas” maka  salin dan tempel  akan membentuk akronim dengan kata “Sate”. Demikian. Selanjutnya  dalam uraian berikut kata sate harus difahami sebagai copas.

Sate seolah sudah merupakan keniscayaan dalam jagat komunikasi daring (online).  Mahasiswa yang akan menulis  karya tulis ilmiah, paper, tugas akhir, skripsi, tesis, disertasi, dan sejenisnya, nyaris  semuanya melakukan sate.  Komunikasi dalam media jejaring sosial  (sosmed) juga melakukan hal yang sama. Sate. Kalangan akademis, harusnya sudah sangat faham dengan  pasal 44 UU Nomor  7 tahun 1997  berikut konsekwensinya. Seorang dosen atau mahasiswa yang melakukan sate melebihi porsi yang ditentukan (misal 30%)  dapat dianggap sebagai plagiat. Jabatan, gelar atau ijazahnya  akan dicabut.

Fenomena 100% sate kian menggila di jagat komunikasi media jejaring sosial. Pengguna sosmed  sering memposting atau menulis status  dengan tulisan 100% sate, yang dikesankan sebagai buah pikiran yang bersangkutan.  Hal seperti  ini jelas tidak etis  bahkan sebuah pelanggaran hak cipta. Boleh saja membagi (share) posting teman dengan senantiasa  menyebutkan sumber atau penulisnya.

Banyak juga pengguna sosmed yang mendadak seolah menjadi  ustadz, dengan memposting dakwah atau tausyiah hasil  100% sate.  Atau bisa juga yang betul-betul ustadz  melakukan 100% sate  untuk dakwah dan tausyiah seluler.  SMS, FB, WA dan sejenisnya akan penuh dengan taushyiah  100% sate.  Memory  HP akan over load, hang dan mati, karena kebanyakan pesan 100% sate.  Kalau dakwah yang demikian ini, tentu kita akan berpendapat  100% sate ini belum jelas kehalalanya. Yang pasti   100%  sate adalah illegal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline