Lihat ke Halaman Asli

AS Riady

Warga menengah ke bawah

Desa (Tidak) Susah Internet

Diperbarui: 27 Agustus 2021   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.liputan6.com/tekno/read/2823193/cari-tahu-kekuatan-wifi-dengan-aplikasi-ini

Sejak dulu sampai hari ini, salah satu problem pendidikan yang kerap diobrolkan kemudian diputuskan kebijakannya ialah masalah akses pendidikan antara daerah maju dan belum maju. Problem itu belum banyak menuai hasil. Jika dikalkulasi, kemungkinan besar hanya selesai dalam angka-angka laporan akhir tahun miliki pemerintah. Bahwa statistik akses pendidikan di daerah tertentu telah mengalami peningkatan beberapa persen, daerah lainnya dan daerah lainnya juga demikian. Padahal angka-angka itu kadang mereduksi apa saja yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Terlebih di masa pandemi seperti ini. Pendidikan harus beradaptasi ke mode yang konon, di masa-masa sebelumnya telah dicanangkan namun urung dilakukan. Ya mode itu disebut pendidikan dengan kelengkapan digital. Mulai dari perangkat yang kompatibel dengan smartphone, kemudian disokong oleh jaringan internet yang merata serta kapabilitas pengajar yang melek teknologi.

Kini pencanangan itu menemukan momentum dan desakan. Momentum, karena daerahnya telah mendukung untuk pendidikan dengan pirantai digital. Desakan, bagi daerah yang pendidikan dengan cara lumrah saja masih kelimpungan. Tapi dengan adanya wabah, daerah itu ditunut untuk mengejar daerah-daerah lain yang telah siap, minimal secara kemudahan akses untuk menerapkan pendidikan digital.

Di Koran Harian Republika edisi 27 Agustus 2021, kita membaca warta tentang desa yang mentas dari krisis akses internet. Berita itu juga menjadi gambaran bahwa pendidikan yang orientasinya menyetarakan manusia dalam konteks kecerdasan, dalam perjalanannya, malah banyak dilakukan dengan emoh melihat realitas yang dialami oleh masyarakat.

Warta berjudul "Siswa di Desa Reksosari Kini Mudah Akses Internet" ini membuat kita rada heran. Pasalnya desa tersebut terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Daerah yang sepatutnya bisa agak mendongakkan kepala jika berbicara tentang akses internet guna pendidikan, layaknya daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Namun diksi 'kini' di judul itu malah membuat kita bertanya-tanya, "Berarti dulu, desa itu terbilang sulit untuk akses internet?"

"Kini akses internet di wilayah desa tersebut semakin mudah setelah pemerintah desa setempat mengupayakan jaringan internet mandiri yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Reksi Mandiri", tulis di warta itu. Bantuan datang dari pemerintah, tapi bukan yang ada di pusat maupun daerah tingkat I dan II. Bantuan malah datang dari kesadaran masyarakat setempat yang tergabung dalam BUMDes. Terobosan itu dilakukan karena banyak warga di desa itu yang sulit untuk menunaikan pelajaran jarak jauh di masa pandemi ini.

Lebih lanjut: "Dari musyawarah desa, akhirnya terungkap selain harus menjamin ketersediaan sinyal internet guna mendukung PJJ, biaya tagihan juga harus terjangkau hingga akhirnya muncul gagasan membuat jaringan internet secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat." Internet itu ternyata diadakan, dikelola, dan dijalankan secara mandiri. Kita mengenal kata mandiri sebagai aktivitas yang tidak bergantung pada pihak manapun. Aktivitas yang memang berangkat dari kesadaran di dalam diri, kadang tanpa pamrih, dan seringnya perlu upaya yang lebih lama dan melelahkan. Namanya juga mandiri.

Namun dalam kurun waktu mendatang, internet itu tetap diadakan. Bahkan diharapkan dapat menjangkau desa-desa tetangganya yang lain. Kalau pun toh tahun depan pendidikan sudah kembali normal dengan tatap muka di dalam kelas, internet tidak akan diputus. Internet bisa dialihfungsikan untuk hal-hal lain yang memiliki nilai guna memajukan masyarakat. sebab belanja, jualan, membayar, membeli, dan melihat produk apa saja, dalam konteks hari ini tetap memerlukan internet.

Sebagai penutup, "Pasalnya, penyedia layanan internet BUMN maupun swasta tidak bisa menjangkau wilayah pedalaman terutama yang berdekatan dengan dataran tinggi". Bantuan internet ke daerah itu belum prioritas. Mungkin karena penduduknya tidak banyak, maka bantuan juga ala kadarnya. Toh bantuan apa saja akan datang ke sana hanya pada kontestasi politik lima tahunan. Mereka membantu karena butuh massa, bukan untuk memudahkan dan memenuhi kebutuhan hajat hidup warga desa setempat. Mungkin saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline