Selama ini kalau ingin membeli buku, cara yang paling lazim ditemui di masyarakat kita ialah dengan pergi mendatangi toko buku. Melihat dan memilah buku-buku yang sudah masuk list untuk dibeli.
Tapi ada juga yang mempertimbangkan diskon harga buku dengan membandingkan satu toko buku dengan toko yang lain. Lumayan, satu buku yang seharusnya dibeli dengan harga enam puluh ribu, bisa hemat sekitar 15 persen kalau beli di Toga Mas misalnya.
Beberapa malah ada yang memiliki jiwa pemborong. Buku yang diinginkan sudah dibeli dan masuk keranjang. Tapi ketika melihat novel terbitan baru dari Tere Liye atau Andrea Hirata, dengan tanpa alasan, novel itu diambil dan turut dimasukkan dalam keranjang. Alhasil berangkat sudah berwacana membeli tiga buku, sampai di toko yang dibeli bisa sampai sembilan buku.
Ada juga tipe yang emoh ribet. Mereka yang masuk klasifikasi ini lebih suka memantau tawaran menarik dari beragam marketplace atau media sosial. Misalnya give away atau gratis ongkir di shopee. Dan setahun belakangan saya termasuk dalam klasifikasi ini, kecuali memang sedang ada pameran buku.
Nah, namun siapa sangka ternyata saya beberapa kali bersua dengan seorang ibu yang ke sana-ke mari selalu menenteng tas warna hitam. Tas ini berisi buku-buku dagangannya.
Pernah sekali waktu saya tanya toko bukunya di mana? Ia menjawab tidak punya. Pun begitu saat saya tanya apakah ia menjadi penyuplai buku-buku di toko buku tertentu, misalnya di salah satu ruko di Taman Pintar Yogyakarta? Ia pun juga menjawab tidak.
Ia pun bercerita bahwa cara ini sudah ia lakukan sejak lama. Berjualan buku dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Menawarkan buku yang dibawa kepada orang-orang yang ia temui. Buku yang dibawa-tawarkan ini bukan buku repro atau kw. Bukunya asli, tapi bekas. Tentu plastik dan baunya sudah berbeda, bahkan beberapa covernya sudah terlihat kusam.
Memang buku-bukunya masuk deretan buku lama dan bahkan beberapa ada yang langka. Selain itu, ongkos produksinya juga cukup melelahkan. Ia tiap harinya harus menempuh perjalanan sepanjang 10 km lebih untuk menerima fakta bahwa dagangannya belum tentu laku.
Lebih-lebih di masa pandemi yang mayoritas mahasiswa pada pulang ke kampung halamannya. Atau kalau pun masih di Yogyakarta, mereka lebih memilih menyisihkan uangnya untuk membeli kuota data, makan sehari-hari, atau keperluan lain yang lebih dirasa mendesak.
Cara menjajakan buku seperti ibu ini persis dengan menjajakan siomay, cilok, atau bakso keliling. Berangkat dengan asa semoga dagangannya laris manis, namun kadang di sepanjang jalan menemui hal yang tidak terduga. Bahkan sangat mungkin sekali, kembali ke rumah dengan membawa peluh dan dagangannya utuh.