Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Sugeng Riady

Warga menengah ke bawah

Tapera, antara Problematika dan Solusi

Diperbarui: 12 Juni 2020   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

perwanda.wordpress.com

Rumah masih menjadi kebutuhan pokok manusia. Selain sebagai tempat untuk berteduh saat hujan turun, rumah juga menjadi simbol status sosial di tengah-tengah masyarakat. 

Rumah yang bagus, berkeramik mengkilat, punya kolam renang, dan bertingkat tiga mengindikasikan pemiliknya adalah orang kaya. Sedangkan rumah yang hanya memiliki tembok setengah tanpa pagar besi dan tanpa ada keramik merupakan rumah dari golongan menengah ke bawah. Miris memang.

Kendati menjadi kebutuhan pokok, memiliki rumah masih terbilang sulit. Apalagi untuk orang hari ini yang cenderung mengkonsumsi barang-barang (dalam istilah ekonomi) tersier. Barang-barang yang sebenarnya tidak berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan hidupnya.

Kesulitan ini tidak hanya menimpa orang-orang yang berpenghasilan rendah atau tidak tetap. Semua terdampak. Bahkan pekerja dan aparatur sipil negara yang memiliki penghasilan pasti tiap bulannya pontang-panting jika dihadapkan pada persoalan kepemilikan rumah. Mayoritas akan ikut di rumah orang tua atau mertua. Kecuali mereka yang memang memiliki warisan tanah dan harta yang banyak.

Di sisi lain, harga barang material dan tanah setiap tahun cenderung meningkat. Hal ini wajar, mengingat pembangunan setiap tahunnya mengalami perkembangan yang cukup pesat. 

Dulu mungkin ada tempat yang hanya persawahan, tidak pernah ada dugaan ke depan akan berdiri mall megah di tempat itu. Kini sesudah mall berdiri, ramai-ramai orang membeli tanah di situ dan mendirikan rumah sekaligus sebagai tempat usaha, entah itu parkir, jualan kopi, es teh, atau cilok.

Melihat realitas seperti itu, pemerintah berupaya membantu pekerja melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang mewajibkan pekerja dan penguasaha untuk mengiur. Pekerja wajib mengiur 2,5 persen dari gaji pokok dan pemberi kerja mengiur 0,5 persen lainnya sehingga total 3%. Kabar ini didapati di Koran Kompas berjudul "Beban Tambahan dari Tapera", 12 Juni 2020. Judul sudah mengarah pada beratnya pemangkasan gaji sebanyak 3%.

Kenapa demikian? Ada sejumlah pendapat yang memang patut untuk dipertimbangkan. Mengingat juga pandemi covid 19 masih belum berlalu, jadi bisa dipastikan musim paceklik baik keuangan, pangan, dan pertemuan fisik akan terus berlangsung.

Pertama dari pihak pengusaha yang diwakili oleh Sandiaga Salahuddin Uno, Pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ia mengatakan bahwa kondisi pengusaha juga terpuruk. Pendapatan anjloknya. Kendati kebijakan ini baik, namun kondisi keluarnya kebijakan ini tidak pas. Sehingga iuran Tapera itu dilihat dari sisi pengusaha juga menjadi beban baru.

Sedangkan dari sisi pekerja yang diwakili oleh Ilhamsyah mengingatkan bahwa kewajiban mengiur Tapera justru akan melemahkan daya beli. Terutama baki pekerja yang penghasilannya minim. Ia melihat dari dua sisi, pertama kebutuhan papan warga Indonesia menjadi kewajiban negara untuk memenuhi. Hal ini merujuk pada Pasal 28H ayat 1 UUD 1945. Kedua, publik memiliki pengalaman buruk soal dana publik yang disalahgunakan oleh pejabat. Ya wajar saja, karena korupsi di negeri ini sering berkedok pembangunan yang mensejahterakan masyarakat.

Sedangkan Fadjroel Rahman sebagai wakil dari pemerintah kembali menegaskan Tapera ini sebagai solusi masyarakat agar bisa memiliki rumah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline