Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Sugeng Riady

Warga menengah ke bawah

Rumus Kebahagiaan Ki Ageng Suryomentaram

Diperbarui: 9 Juni 2020   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: psikologi.ustjogja.ac.id

Laku spiritual menjadi ciri orang Jawa yang hidup di masa silam. Hidup penuh dengan laku tirakat, menghindari segala hal yang membawa kerusakan, dan melakoni sesuatu dengan apa adanya. Semua itu menjadi ikhtiar untuk menuju pada kebahagiaan.

Tidak berlebihan jika semboyan "bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian" dimaknai orang hari ini sebagai berupaya mati-matian untuk mendapatkan hasil yang menggembirakan. Atau ada juga istilah "usaha tidak pernah mengkhianati hasil". 

Memang benar, orang yang berusaha akan mendapatkan hasilnya. Hanya saja parameter yang digunakan untuk mengukur "oh ini berhasil dan ini tidak" adalah materi. Materi itu ya bisa uang, pangkat, kekayaan, kepemilikan tanah, mobil, dan semua yang dapat dirasakan oleh panca indera.

Lalu bukankah ini sangat bertolak belakang dengan laku orang Jawa di masa silam yang lekat dengan spiritualitas? Ataukah memang orientasi manusia sudah mengalami pergeseran? Atau malah ajaran orang-orang di masa silam sudah tidak relevan dengan semangat zaman?

Mari kita lihat secuil pemikiran yang dirumuskan oleh orang Jawa di masa silam perihal kebahagiaan, Ki Ageng Suryomentaram. Ia lahir pada Jumat Kliwon, 20 Mei 1892 dari keluarga besar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia keturunan ke-55 dari total 78 anak Kanjeng Sultan Hamengku Buwana VII. Atau tepatnya anak kedua dari enam bersaudara yang lahir dari rahim garwa ampeyan (istri goolongan kedua) bernama Bendara Raden Ayu Retnomandoyo.

Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama kecil Kudiarmadji yang kemudian bergelar Bendara Raden Mas. Karena hidup dalam lingkungan berkecukupan, asupan pengetahuan Ki Ageng Suryomentaram juga terjamin. Ia mungkin seorang kutu buku. 

Aina Prihantini di dalam buku "Suluh Kebahagiaan" (Yogyakarta: MJS Press, 2016) mencatat Ki Ageng Suryomentaram pernah melahap habis karya Arthur Schopenhauer dan Immanuel Kant. Selain itu di usia tuanya banyak belajar teosofi dari karya-karya Krisnamurti yang ditulis setelah tahun 1929.

Akan tetapi ketika memutuskan menikahi Nyi Sri Suhartati (istri kedua, istri pertama wafat), Ki Ageng Suryomentaram menjual semua buku-buku koleksinya dan hanya menyisakan buku babon Babad Mataram dan Babad Tanah Jawi untuk diajarkan kepada anak-anaknya. Kemudian ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan menetap di Bringin, Salatiga.

Rumusan kebahagiaan versi Ki Ageng Suryomentaram adalah rumusan paling sulit. Kenapa? Karena rumusannya sama sekali tidak mensyaratkan kepemilikan harta berlimpah dan jabatan yang tinggi, malah sebaliknya.

 Simak penuturannya: "Nyinau raos punika nyinau tiyang. Mangka awakipun piyambak, punika tiyang. Dados nyinau tiyang punika nyinau awakipun piyambak utawi meruhi awakipun piyambak, inggih punika pangwikan pribadi." (Mempelajari rasa itu berati mempelajari manusia. Dan diri sendiri itu adalah manusia juga. Maka mempelajari manusia itu sebenernya mempelajari atau mengetahui diri sendiri).

Nah, untuk mengetahui diri sendiri ini, manusia harus sadar bahwa hidupnya itu saiki, ing kene, dan ngene (sekarang, di sini, dan begini). Sekarang berati menjalani hidup tidak melulu galau dengan masa lalu yang kelam atau mengkhawatirkan bagaimana kehidupannya di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline