Lihat ke Halaman Asli

Laggum Permainan Tradisional Khas Puasa yang Tinggal Nama

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

…….Tembak, mun ndaan bunyi sodah nak lari disie jak, kan udah mati kena’ tembak….

Sepenggal kalimat tersebut cukup menggambarkan betapa bahagiannya anak-anak Singkawang memainkan Laggum (Meriam yang terbuat dari bambu). Laggum sendiri hanya ada ketika bulan Ramadan tiba. Anak-anak Singkawang akan memainkan Laggum saat menjelang berbuka puasa dan setelah sahur.

Bahan dasar Laggum sendiri sangat mudah di jumpai di Singkawang, bambu berdiameter 20 cm atau lebih di potong- potong. Dan setiap meternya menghasilnya satu Laggum. Agar bisa menggunakannya sebagai meriam, di buatkan lubang kecil di ujung belakang, lubang tersebut berfungsi sebagai tempat mengisi bahan bakar, serta berfungsi sebagai penyuluh api.

Rasa tidak sah bila bula puasa tanpa permainan rakyat yang satu ini. Meski terus di hujani permainan-permainan virtual yang menjamur, namun permainan Laggum punya tempat tersendiri bagi para pemainnya. Bahkan kelangkaan bahan dasar bambu tidak menyurutkan peminatnya membuat Laggum, mereka rela berburu bambu ke daerah lain untuk membuatn permainan sederhana ini.

Laggum biasanya kerap dibunyikan saat sahur guna membangunkan warga dan saat sore sebagai permainan anak menunggu waktu berbuka puasa. Permainan itu sejauh ini tidak mengganggu, karena dimainkan anak-anak desa jauh dari rumah-rumah warga.

Biasanya pada bulan ramadan, permainan ini tidak hanya dapat ditemui di Singkawang, namun anak-anak juga memainkannya di tepi jalan lintas Kabupaten Sambas ataupun Kabupaten Bengkayang.

Saya masih ingat 19 tahun lalu, suasana perkampungan di Singkawang setiap puasa menjadi ramai, meriah, perkampungan seakan menjadi wahana perang, dimana-mana bunyi ledakan meriam dan teriakan pemainnya. Hiruk pikuk itu menjadi kesan tersendiri saat puasa, karena rasa lapar dan haus hilang seketika dibawa masuk alam permainan Laggum itu sendiri.

Bahkan saat itu anak-anak dari kampung sebelah selalu datang dan mengajak adu Laggum, namun karena meriam ini tidak menimbulkan efek luka setiap tembakannya, maka adu Laggum hanya mencari meriam mana yang paling tinggi bunyi ledakannya. Jika dalam lima atau sepeluh kali sulutan Laggum tersebut bisa menimbulkan efek bunyi yang dasyat, maka si pemilik sebagai pemenangnya, dia berhak mengambil satu meriam lawanya, karena permainan di lakukan berkelompok, si pemenang hanya di perkenankan membawa satu meriam lawan saja.

Namun seiiring berjalannya waktu, dan perkembangan teknologi yang pesat, permainan rakyat ini seakan hilang dari anak-anak sekarang, mereka hanya tahu Playstation, internet, atau pun Handphone. Ana-anak tidak mengetahui apa itu permainan Laggum.

Di tambah lagi pesatnya perkembangan pemukiman penduduk, seakan menggerus keberadaan bahan dasar bambu.Kini untuk mendapatkan bahan dasar bambu yang ideal buat Laggum harus mencari jauh ke hutan. Karenanya menjadi wajar jika dulu permainan satu tahun sekali ini gratisan namun sekarang berbayar karena harus mengeluarkan biaya buat beli bambu yang sudah di perdagangkan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline