Sepanjang tahun ini, Tandan Buah Segar (TBS) sawit mengalami penurunan harga jual, akibatnya banyak petani sawit mandiri mengalami kerugian yang sangat besar, bahkan bangkrut. "Survive" pun dilakukan para petani sawit ini, salah satunya menjual TBS ke Neger Jiran Malaysia, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mempertahankan hidup.
Selisih harga yang signifikan di Malaysia memberikan angin segar kepada petani sawit mandiri, daripada menahan lapar, lebih baik menjual TBS ke Malaysia yang harganya lumayan, meskipun secara procedural hal tersebut tidak dibenarkan. Bayangkan saja di Malaysia Petani dapat menjual TBS diharga kisaran Rp3.500 hingga Rp4.500 per kg. keadaan tersebut berbanding terbalik di Indonesia TBS hanya dihargai Rp.1000 hingga Rp.1.500/Kg nya. Tak ada cuan menjual TBS didalam negeri.Kalau Kami Mati kelaparan Apakah Pemerintah mau bertanggung jawab, tidak kan?! Baiknya kami jual di Malaysia agar kami tetap makan
Saya pikir menjadi wajar kiranya petani sawit mandiri beramai-ramai menjual TBS mereka di Malaysia, selain harganya mahal yang secara tidak langsung bisa menutupi biaya produksi selama berkebun, juga bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari petani tersebut. Para petani tersebut sebenarnya sadar apa yang mereka lakukan salah dimata negara, namun negara juga tidak bisa menghadirkan solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan ini, bahkan terkesan tutup mata terhadap kejadian itu.
Lihat saja Menteri Pertanian melalui Surat Edaran Nomomr 144/KB.310/M/6/2022 tanggal 30 Juni 2022 mengenail pembelian tandan buah segar (TBS) produksi pekebun, dalam surat edaran tersebut terdapat empat point penting, dan salah satunya adalah membeli TBS dari Petani Sawit mendiri dengan harga minimal Rp.1.600/Kg.
Harga minimal yang ditetapkan Pemerintah sejatinya tidak membantu petani sawit mandiri. Surat Edaran tersebut hanyalah sebuah surat himbauan yang tidak punya daya paksa kepada pengambil kebijakan dan pelaku usaha Pabrik Kelapa Sawit, akibatnya taka ada satupun solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini.
Sejatinya pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat makan, juga dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesetaraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang merupakan merupakan fundamen sistem perekonomian nasional. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam yakni sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak basis persaingan serta atas asas yang sangat individualistik.
Demikian pula dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 memberikan maklumat yang sangat terang-benderang bahwa pemerintah memiliki peran yang sangat besar dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi bukan hanya dilakukan oleh masyarakat, swasta, atau individu, terutama untuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Itu juga harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama ini juga telah terjadi eksklusifisme pembangunan. Prinsip partisipasi dan emansipasi pembangunan tidak ditegakkan, seharusnya dalam setiap kemajuan pembangunan rakyat harus senantiasa terbawa serta. Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H