Gugurnya Penegak Demokrasi
Hanapi bin Amsir
Ketua KPPS 050 Kel. Jurangmangu Timur,
Pondok Aren, Tanggerang Selatan
Luput dari pemberitaan media mainstream, bahwa kesuksesan sebuah pesta demokrasi berawal dari suksesnya proses pemungutan suara oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS.
Pemilu yang rumit dan melelahkan, adalah pemilu 2019. Ditengah hiruk pikuk pesta demokrasi ini, nyaris tidak ada media yang memberitakan betapa tugas KPPS dalam pemilu 2019 ini sungguh sangat berat. Diawali dari pembentukan KPPS, mengikuti bimtek, pendirian TPS, proses Pemungutan Suara hingga penghitungan suara 4 sampai 5 jenis surat suara pemilihan, PPWP, DPR RI, DPD, DPRD I dan DPRD II untuk luar DKI Jakarta. Tidaklah berlebihan jika petugas KPPS ini layak disebut penegak demokrasi, sebab anggota KPPS harus menjaga netralitasnya dalam bertugas disamping harus bekerja secara fisik, petugas ini harus berfikir keras menyelesaikan begitu banyak form yang harus diisi dengan teliti dan benar sesuai aturan KPU.
Orang-orang yang bersedia menjadi petugas KPPS adalah orang-orang pilihan yang iklhas dan berjiwa sosial, sebab honor yang diterima dari pemerintah tidaklah sebanding dengan tugas yang harus dijalankanya. Di DKI Jakarta, khususnya di tempat saya bertugas sebagai Ketua KPPS, Rp. 550 ribu untuk Ketua KPPS dan 500 Ribu untuk Anggota KPPS dipotong PPh 10% bukanlah honor yang layak untuk tugas berat ini. Begitu pula ketika petugas KPPS harus mengikuti BIMTEK di tingkat PPS, kami hanya mendapatkan snack ala kadarnya dan uang Transport Rp. 34. ribu saja. Namun keikhlasan dan semangat menjaga demokrasi 5 tahunan ini yang membuat petugas KPPS tetap harus menyelesaikannya.
Hari ini baru saja dimakamkan jasad seorang pejuang demokrasi, Hanapi bin Amsir yang merupakan Ketua KPPS 039 Kel. Jurangmangu Timur, Kec. Pondok Aren Tangerang. Beliau meninggal setelah sukses menjalankan tugasnya melakukan proses pemungutan suara. Kelelahan yang amat sangat adalah penyebab turunnya stamina tubuh sehingga beliau wafat dalam usia 49 tahun. Hanya beberapa jam setelah beliau menyelesaikan tugasnya di TPS, Hanapi menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 17.00 WIB di rumahnya. Wafatnya Hanapi bin Amsir hanyalah satu dari sekian banyak kejadian gugurnya pahlawan-pahlawan penegak demokrasi di perhelatan Pemilu 2019 ini.
Menurut informasi yang saya dapatkan bahwa Hanapi bin Amsir adalah seorang yang aktif bermasyarakat, baik aktivitas sosial maupun keagamaan. Tubuhnya yang tergolong gemuk namun beliau termasuk orang yang enerjik, sehingga hampir tak terlihat jika beliau menyimpan penyakit sebab sehari-hari nampak sehat.
Atas kejadian ini saya pun mencoba untuk berbincang dengan banyak petugas KPPS lainnya di lingkungan tempat tinggal saya, sebagai sesama petugas KPPS saya turut merasakan semua yang dialami oleh mereka. Kelelahan masih nampak akibat 2 hari 2 malam begadang di lokasi TPS. Keterlambatan turunnya anggaran untuk pembuatan Tenda adalah salah satu yang banyak dikeluhkan, 3 hari sebelum hari H dianggap terlalu mepet untuk mendirikan TPS sebab sebagian tukang sewa tenda telah dipesan oleh orang-orang yang punya dana talangan, terakhir bahkan ketika kami harus mengantarkan 4 kotak suara ke lokasi di tingkat PPK kami hanya mendapat uang transport Rp. 50 ribu saja, petugas PPS di tingkat kelurahan maupun PPK ditingkat Kecamatan pun sepertinya tidak bisa berbuat banyak atas keterlambatan anggaran ini. Hal-hal diatas tentu bukan cara effesiensi uang negara yang benar, sebab sungguh sangat tidak menusiawi dan merendahkan semangat demokrasi.
Kesemrawutan proses Pemilu 2019 ini tentu menjadi catatan penting sebagai pengalaman untuk perbaikan di pemilu yang akan datang. Bahwa keperluan petugas di tingkat bawah (KPPS) harus lebih diprioritaskan dan diperhatikan kelayakannya sebab petugas KPPS adalah orang-orang pilihan di lingkungannya masing-masing. Tentu dengan harapan sistem pelaksanaan Pemilu yang ada sekarang harus segera direvisi. Pertama : menyatukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Legislatif harus segera diganti dan dipisahkan. Efesiensi seyogyanya tidak merugikan masyarakat bawah. Kedua : Presidensial Threshold 20 % harus segera dirubah sebab faktanya telah menciptakan kondisi terbelahnya masyarakat menjadi 2 kubu, hal ini sangat menghawatirkan bagi keutuhan NKRI.
Itulah sekelumit catatan untuk Pemilu 2019 dari saya selaku petugas demokrasi ditingkat bawah. Semoga para elite politik memahami dan menyadari hal ini. Tidak elok jika petinggi mengklaim bahwa Pemilu 2019 ini adalah pemilu yang sukses dan bisa dijadikan contoh oleh negara-negara lain, sebab fakta yang ada adalah begitu banyak celah dan kekurangan terutama pelaksanaan di tingkat bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H