Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Kita, Culture Shock yang Tak Kunjung Selesai

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412595089738724130

[caption id="attachment_327646" align="alignleft" width="640" caption="Democrazy (sosiologis.com)"][/caption]

Mengikuti perkembangan berita di tanah air, terutama terkait diskursus UU Pilkada, saya melihat bangsa ini seperti sebuah kapal raksasa yang sedang berlayar kemudian terbelah dua, menyisakan persoalan bagaimana ke depan melanjutkan dan menyelamatkan perjalanan kapal ini. Di tingkat elit mungkin akan lebih cair dan mudah untuk sekedar mengubur luka ini dengan cara berkoalisi untuk kepentingan jangka pendek mereka. Tapi di akar rumput ini adalah sebuah luka yang mungkin agak sulit untuk disembuhkan dalam waktu dekat.

Saya sendiri tidak menyoroti prinsip langsung atau tidak langsungnya yang menjadi esensi perdebatan, tapi lebih kepada lemahnya integritas kedua kubu (ulasan cantik dari tetangga) yang menyuarakan perbedaan pendapat, atau seperti yang pernah saya ungkap dalam tulisan sebelumnya, absennya legitimasi moral yang kuat, terutama dari para pihak yang bersikukuh.

Fokus ke para aktor, yaitu elit dan akar rumput. Demokrasi yang kita adopsi sepertinya sudah sangat liberal, bahkan jauh lebih liberal dari (katanya) empunya demokrasi nun jauh di Amerika sana. Betapa tidak, elit dan rakyat seolah bertarung tanpa henti, tanpa lelah. Ketika hajatan (formal) demokrasi selesai, nyatanya perang antar kubu tidak serta merta juga selesai. Ada karakter sulit memaafkan dan menerima kekalahan. Kemenangan juga membuat jemawa kubu yang lainnya.

Akar persoalannya bagi saya adalah bahwa bangsa kita masih mengalami--meminjam istilah psikologi, culture shock dalam berdemokrasi. Umumnya ini adalah sebuah keadaan yang akan dilalui seorang individu manakala individu tersebut baru berkunjung dan menetap di lingkungan baru, biasanya di luar negeri. Ada 4 fase (Schneider & Barsoux, 2003) yang akan dilalui individu tersebut, yaitu:


  1. Honeymoon phase atau fase bulan madu. Sebuah keadaan di mana semua terasa indah dan menyenangkan. Demokrasi pun terasa legit dan solutif bagi bangsa ini setelah 32 tahun lebih hidup di bawah rejim otoritarian. Layaknya bulan madu, fase ini tidak berlangsung lama. Beberapa komponen bangsa sepertinya belum 'move on' dari fase ini.
  2. Negotiation phase atau fase negosiasi. Keadaan di mana individu mengalami frustasi dan merasa kecewa ketika mendapati bahwa kenyataan dihadapannya tidak sesuai dengan tata nilai dan ekspektasi dia. Demokrasi sebagai barang impor menjadi persoalan serius manakala berbenturan dengan banyak kepentingan. Suasana menjadi berubah drastis dari segala yang nampak indah menjadi suram dan kelabu.
  3. Adjustment phase atau fase penyesuaian. Dalam kondisi normal, ketika individu berhasil mengatasi konflik kepentingan, maka perilaku individu mulai mau menerima perubahan dan memandang positif perbedaan sebagai sebuah realitas. Demokrasi pun menjadi sebuah tata nilai yang mulai tertanam (tanpa paksaan) dalam keseharian.
  4. Mastery or Acceptance phase. Pada fase ini individu sudah menyatu dengan lingkungan barunya, dan tidak ada sekat yang membatasi keduanya. Demokrasi pun pada fase ini sudah melebur dalam kehidupan keseharian, sehingga tidak nampak sebagai barang yang terpisah lagi.


Nampaknya bangsa kita masih terjebak di fase bulan madu dan negosiasi. Penyesuaian tidak bisa dilakukan selama kita sebagai bangsa belum toleran dalam menerima perbedaan. Di tingkat elit, perilaku  ini tercermin dari semakin terpolarisasinya kedua kubu dalam perdebatan yang tidak esensial lagi. Di akar rumput, pertempuran barangkali lebih sengit, karena bagi (sebagian) mereka, perbedaan ini menjadi prinsipil dan (seolah-oleh) menjadi agama baru. Berbeda pendapat berarti berbeda tiket, satu tiket surga, satu lagi tiket neraka.

Entah kemudian perjalanan bangsa ini akan mencatat keberhasilan adaptasi demokrasi atau malah sebaliknya. Jargon yang diagung-agungkan bahwa kita adalah negara demokratis muslim terbesar pun seakan kehilangan makna dan nilai.

Pertanyaan yang mengemuka sekarang adalah, apakah demokrasi (masih) menjadi jawaban atas berbagai persoalan bangsa ini. Ataukah kita justru memerlukan cara berpikir baru sebagai bangsa, dengan (misalnya) kembali menghayati nilai dan kearifan lokal yang sudah menjadi jati diri bangsa sejak dulu, yang barangkali lebih kompatibel dengan keadaan masyarakat kita, dibandingkan 'pemaksaan' demokrasi itu sendiri? Sampai saat inipun saya belum melihat ada bukti otentik kalau demokrasi bisa memberikan 'kesejahteraan' kepada rakyat suatu bangsa, selain kemerdekaan berbeda pendapat (saja).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline