[caption id="attachment_341918" align="aligncenter" width="468" caption="Birmingham German Christmas Market"][/caption]
Menjelang perayaan Natal, beberapa minggu terakhir ini media, TV, pusat perbelanjaan, dan sekolahan di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya dibanjiri oleh pesan-pesan Natal yang masif. Media TV nasional seperti CITV dan BBC, misalnya, banyak menampilkan pemberitaan kegiatan anak-anak yang melakukan pengumpulan dana charity untuk nantinya disumbangkan. Begitu pula dengan pusat-pusat belanja seperti ASDA, Morison, atau Lidl yang menawarkan super diskon untuk barang-barang yang dijualnya. Di pusat kota Birmingham malah ada festival German Christmas Market yang menjadi kalender tahunan menjelang Natal yang menyajikan ratusan makanan, minuman, wewangian sampai ornamen-ornamen hiasan Natal mayoritas hasil impor dari Frankfurt langsung. Tidak ketinggalan adalah sekolah-sekolah dasar yang dalam beberapa hari terakhir turut meramaikan Natal dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan berbau natal, seperti penampilan drama, membuat kue, pesta kecil termasuk pengumpulan donasi. Sangat ramai dan meriah.
Sereligius itu kah orang Inggris, sehingga Natal dirayakan begitu masif oleh setiap entitas, sama seperti halnya kita (di Indonesia) merayakan Lebaran (dan bahkan Natal). Bagi saya yang sudah menginjak Natal ke-empat kalinya ternyata jawaban faktualnya adalah tidak. Mengapa demikian?
Natal, yang bagi sebagian besar pemeluk ajaran Kristiani di Indonesia menjadi momen yang sangat relijius ternyata bagi orang Inggris dan banyak negara Eropa lainnya telah bergeser hanya menjadi momen sosial, kesempatan untuk liburan yang menyenangkan bagi anak-anak, orang tua dan tentunya para kapitalis pemilik modal. Lebih dari 30% anak Inggris tidak tahu bahwa Natal adalah perayaan kelahiran Yesus (hasil survey). Malah lebih dari separuh mereka justru percaya Natal adalah kelahiran Sinterklas, sementara Yesus bermain untuk Chelsea (lihat di sini). Tentu tidak usah ditanyakan kalau menurut orang dewasanya.
Pergeseran pemaknaan Natal tidak hanya berhenti pada persepsi pemeluk Kristen saja, karena kegiatan gereja pun tidak mengalami peningkatan dengan momen Natal ini. Selain itu juga beberapa gereja malah mengalami kebangkrutan karena banyak ditinggalkan jemaatnya. Generasi muda kini lebih cenderung menjadi atheis atau memilih mencari keyakinan lain. Kalau masih ada yang pergi ke gereja, maka bisa dipastikan dia sangat relijius.
Saya teringat dengan salah satu tetangga saya di Tokyo waktu bermukim di Jepang, namanya Shinotsuka, berusia 60-an. Dia seorang penganut Shinto. Setidaknya itu pengakuan dia. Dan itu terlihat di rumahnya terdapat patung pemujaan khas Shinto. Pada suatu saat, waktu itu malam Natal, seperti biasa saya, istri dan anak beranjak mau tidur setelah makan malam, tiba-tiba pintu apartemen kami diketuk dengan keras. Waktu dibuka ternyata Shinotsuka-san sudah berdiri di pintu dengan topi Sinterklas dan sekantong besar makanan. Dan apa katanya? Ayo kita rayakan Natal, ini saya bawakan makanan dan minuman, mari kita makan-makan. Saya dan istri pun saling tatap, tentunya dengan tetap mempersilahkan dia masuk dan mulai makan-makan (horeee, anakku seneng banget), walaupun perut kami baru saja diisi penuh!.
Di Belanda, Natal dirayakan oleh hampir seluruh keluarga Belanda, baik yang kristiani maupun yang bukan. Tidak ada acara khusus pergi ke gereja, kecuali yang benar-benar menghayati Natal. Selebih dan dan sebagian besar hanya mengundang dan mengajak makan-makan, seperti event sosial biasa. Kuenya enak juga sih :)
Kini, undangan perayaan Natal juga (kembali) datang dari kawan-kawan seruangan kerja di Inggris sini. Mereka selalu bertanya kenapa saya tidak pernah ikut undangan Natal kami? ini kan acara sosial kita katanya. Apa karena saya orang Asia yang punya standar berbeda dengan kami (orang Eropa)? Saya pun tertawa dan menjelaskan kami orang Asia tidak punya standar khusus. Mereka tidak menanyakan apa agama saya, karena (sebagian dari) mereka sendiri pun bahkan tidak percaya Tuhan. Intinya You don't have to be a Christian to join them.
Anak saya di salah satu SD di City Road mengalami dilema yang sama, karena banyaknya kegiatan Natal diselenggarakan di sekolahnya. Untuk kegiatan semisal masak-masak, performance atau donasi tentu tidak ada masalah. Tetapi begitu ada kegiatan Natalan di gereja, istri saya (terutama, hehe) langsung terang-terangan menolaknya. Untungnya sekolah juga mengerti. He is not going to attend the service, and will go to the school after the service, that simple. Tak perlu tarik-menarik, adu argumen apalagi saling menjelekkan.
Kembali ke wajah Natal di Indonesia. Sesuatu yang biasanya menjadi momentum untuk kembali menguji toleransi umat Islam, yang kadang kala di tengah-tengah ancaman ekstrimis yang mengatasnamakan Islam untuk mengganggu acara Natal. Biasanya ini menjadi indikator keamanan, jika Natal aman, maka Indonesia 'hebat' dan toleran, jika Natal diganggu bom, maka Indonesia 'kampret' dan intoleran. Lalu di lebih-lebihkan biasanya dengan dibandingkan dengan situasi di negara-negara barat. Katanya Idul Fitri tidak pernah diganggu urusan bom, ya iyalah orang gak ada perayaannya apalagi disediakan liburan nasionalnya. Tetapi di luar isu keamanan, saya masih melihat perbedaan Natal di Indonesia dan di luar negeri. Natal bagi orang (Kristen) Indonesia adalah momen relijius yang menegaskan identitas agama mereka. Di luar negeri, khususnya Inggris, Belanda dan Jepang (setidaknya yang saya alami), Natal hanyalah liburan, momen bersenang-senang dan tentunya musim diskon.
#Penulis adalah seorang Muslim, mukim di Birmingham Inggris dengan istri dan 2 anak