Lihat ke Halaman Asli

aldis

Arsitektur Enterprise

Resistensi Perubahan Kampus : Relasi Akreditasi , Teknologi Informasi, Emosi

Diperbarui: 8 September 2024   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Di tengah persaingan global yang semakin ketat, perguruan tinggi di Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas institusi demi mencapai akreditasi unggul dan pengakuan internasional. Transformasi digital, peningkatan mutu akademik, serta perubahan dalam tata kelola institusi menjadi agenda penting untuk bersaing di tingkat global. Salah satu aspek kunci dalam proses ini adalah penerapan teknologi informasi, yang memainkan peran vital dalam mendukung efisiensi, transparansi, serta inovasi di lingkungan kampus. Namun, meskipun teknologi terus berkembang, adopsinya di kalangan akademisi dan tenaga pendukung sering kali mengalami hambatan, terutama ketika individu atau kelompok dalam organisasi merasa nyaman dengan cara kerja konvensional yang telah mereka kenal selama bertahun-tahun.

Perubahan teknologi tidak hanya sekadar mengganti alat atau sistem lama dengan yang baru. Ini melibatkan perubahan pola pikir, kebiasaan, serta adaptasi terhadap proses baru. Di sinilah tantangan terbesar muncul. Sebuah perguruan tinggi yang berusaha menerapkan sistem informasi manajemen modern, seperti Enterprise Resource Planning (ERP) atau Learning Management System (LMS) berbasis cloud, sering kali mendapati resistensi dari para penggunanya. Meskipun teknologi ini dirancang untuk mempercepat pencapaian akreditasi unggul dan akreditasi internasional, penerapannya dapat terhambat oleh ketidakmauan sebagian individu untuk berubah.

Sama halnya dengan individu, institusi sering kali mencerminkan pola pikir dan perilaku para anggotanya. Ketika individu, baik staf, dosen, maupun pimpinan sulit beradaptasi terhadap perubahan teknologi dan pola kerja digital, upaya institusional untuk mencapai target besar tersebut menjadi lebih lambat dan penuh tantangan. Meskipun perguruan tinggi sudah menyusun strategi dan rencana aksi yang jelas, perubahan budaya dan perilaku sering kali menjadi penghalang yang sulit ditembus.

Mengapa resistensi ini terjadi? Mengapa individu dan organisasi merasa sulit untuk berubah meskipun perubahan tersebut merupakan kebutuhan? , dengan meminjam perspetikf psikologi, mari kita coba  memahami mekanisme mendasar yang menyebabkan manusia dan, secara lebih luas, organisasi perguruan tinggi cenderung sulit berubah, meskipun dihadapkan pada tuntutan peningkatan mutu, penerapan teknologi informasi, dan daya saing global.

Pembentukan Keyakinan yang Mendalam

Salah satu alasan utama manusia sulit berubah seiring bertambahnya usia adalah karena terbentuknya keyakinan yang kuat. Setiap individu, berdasarkan pengalaman hidupnya, membangun seperangkat keyakinan dan nilai yang kemudian mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku. Keyakinan ini bisa menjadi kekuatan pendorong sekaligus penghalang. Ketika seseorang memiliki keyakinan negatif seperti "Saya tidak bisa sukses" atau "Perubahan itu menakutkan," mereka secara otomatis akan menolak perubahan, meskipun perubahan tersebut dapat membawa hasil positif. Keyakinan seperti ini sering kali tidak disadari, tetapi sangat berpengaruh terhadap keputusan yang kita buat.

Menurunnya Neuroplastisitas Otak

Saat kita masih anak-anak, otak kita berada dalam kondisi yang disebut neuroplasticity, yaitu kemampuan otak untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan baru. Anak-anak belajar dengan cepat dan mudah karena otak mereka masih terbuka untuk pengalaman baru. Namun, seiring berjalannya waktu, neuroplastisitas ini menurun. Otak mulai membangun jalur saraf yang lebih stabil, yang berarti kita cenderung kembali ke pola pikir dan kebiasaan lama. Kebiasaan ini menjadi otomatis, dan semakin sulit untuk diubah. Itulah sebabnya, sebagai orang dewasa, kita sering merasa nyaman dengan rutinitas dan resistif terhadap perubahan.

Pengkondisian Lingkungan dan Pengalaman Masa Lalu

Lingkungan dan pengalaman hidup membentuk banyak aspek kehidupan kita. Sejak kecil, kita dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah, hingga lingkungan kerja. Pengkondisian ini menciptakan pola pikir dan perilaku yang kemudian kita jalani secara otomatis.  pola ini disebut sebagai "program" yang berjalan di bawah sadar. Misalnya, jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang menekankan stabilitas dan keamanan, perubahan mungkin akan terasa mengganggu. Sebaliknya, lingkungan yang mendukung eksplorasi dan fleksibilitas bisa membuat seseorang lebih terbuka terhadap perubahan.

Ketakutan akan Ketidakpastian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline