bercerita meski tak kentara pandir kau kata
telisik kecemasan diri mencoba menjaring samudra
tentu kau tahu aku acuh menghirau arah
tak ada saji kuhidangkan melarah
disitu, seingatku tengah tapak bayang-bayang
kau pahat aksara pada punggungku
menukil daging dan kulitku satu-satu
aku adalah prasasti bagimu, bukan?
menelusup kedalam tubuhmu
selalu kutemukan rekam inkoherensi sabda
meski begitu masih menerus memukul bilah
serpihan entah daging atau kulit meluruh tanah
aku adalah prasasti bagimu, bukan?
dan kita melenguh...
atau pada malam-malam lain ketika logika kabur dari kepala
semacam iblis menyulut urat yang mengakar diseluruh kulit
meski aku tahu beberapa bagian nadir kau pasak
masih merangsang hingga laku baru
karena aku prasasti bagimu, bukan?
darahku tidak pernah ada untukmu,
aksara kayu baji yang kau ukir ditukilan dagingku
tidak bernanah, leukosit sudah mengkhianatiku
hujan tak sekalipun menaungi ranggasku
tak satupun papah dapat kugunakan untuk beranjak
membatu seiring waktu dalam jenggala
kelindan rambutku membelukar ejawantah
dan aku menjura selamanya disini,
sendiri
aku adalah prasasti senandika bagimu, bukan? wahai...
to hen
Ciracas, 01.26 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H