Lihat ke Halaman Asli

Temui Aku, dengan Senyum Itu, dan Simpan Foto Tunangan Hanya dalam Dompetmu

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana orang-orang bisa membaca pikiran? Dari senyum merekah? Atau dari mata yang menyampaikan cahaya nanar hingga siapa yang melihatnya dapat menduga?

Theresa, nama panggilan yang tidak tertera di KTP-nya, paling bisa menjawab apakah ia bahagia atau tidak, dalam suasana seperti apapun ia berada. Seperti hari ini, ia mengenakan kebaya biasa, lace. Semakin simpel modelnya, semakin harus lace, harus Paris. Dipadu dengan jeans rekat membentuk kakinya. Aih, siapa lelaki punya mata pasti terpikat bila melihatnya. Apakah Theresa bahagia? Hanya dirinya sendiri yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Theresa duduk tegak menopang dagu disebuah meja, pada satu pojok ruangan, tersenyum sendiri sambil memperhatikan telepon selular. Putih kebayanya yang ramping jangan sampai ternoda kernyit wajahnya karena ia tengah menunggu seseorang yang belum juga datang. Ia gemeretak cemas, lantaran prasangka-prasangka usil datang dalam selipan rekah senyum di bibirnya.

Apakah ia akan datang?

‘Ia sudah berjanji, pasti datang’ senyum Theresa.

Seperempat jam lalu ia baru saja berjanji, menemui Theresa yang tidak pernah tidak tampil mempesona.

Dan hampir saja Theresa melompat, beberapa jam yang lalu ketika mendapati balasan dari layanan pesan singkat yang ia kirim; lelaki itu menyetujui permintaan Theresa untuk bertemu di coffeshop daerah kota, tempat favoritnya. Bangunan klasik dan lay-out ruangan yang sempurna bagi Theresa, tempat pertemuan dengan lelaki yang sempurna baginya. Theresa bangkit dan sekonyong-konyong berpamitan dengan sahabat disampingnya, lalu menghambur keluar meninggalkan sahabat serta hair-dresser yang masih terkejut tak menduga: Theresa tidak jadi disanggul, tidak juga jadi pergi menghadiri undangan resepsi khinatan anak temannya yang sebelumnya telah ia rencanakan. Semua yang mengenalnya di salon itu, hanya bisa menyisakan geleng keheranan.

Maka, disinilah Theresa, menunggu bersama sejenis harapan.

Ia pilin-pilin cincin emas bermata pirus di jari manis kirinya, cincin pertunangannya. 5 tahun sudah ia berpacaran dengan lelaki bertubuh jangkung, berdada bidang, pejal, atletis itu. Kulitnya bersih dan berwajah bulat. Tampan? Ah, itu biar Theresa yang menjawabnya. Yang jelas, Theresa senang sekali ketika lelaki atletis itu hendak meminangnya, memberikan kepastian pada hubungan yang penuh suka dan duka.

Sebelum makan siang tadi Theresa sudah menghubungi tunangannya yang tengah berada di kantor. Ia ingatkan tunangannya agar jangan telat makan siang, jangan nakal, jangan genit dengan teman-teman sekantornya dan segala macam nasihat-nasihat yang bila saja si tunangan tidak menyudahi dengan menyebut Theresa ‘bawel’, mungkin Theresa akan terus melanjutkan segala macam peringatan. Lalu  perbincangan diakhiri dengan janji bertemu esok weekend.

Apakah Theresa tidak mencintai tunangannya? Mengapa hendak menemui lelaki lain hari ini? Ia cinta setengah mati, bukan sepenuh mati. Tapi Theresa harus bertemu dengan lelaki ini, sekarang! Lelaki yang menariknya dalam satu pertemuan sederhana, tempat yang sederhana.

Saat itu, pada sebuah toko buku, di pinggiran kota Jakarta, di jalan sempit yang hanya dapat dilalui satu mobil, Theresa sibuk memilih buku yang menunggu ia ambil untuk dibawa pulang. Selera Theresa tidak tergolong berat, sekedar buku sastra yang menjadi pelengkap kesempurnaan, kesempurnaan hidup yang dirasakannya saat itu.

Tapi kemudian, kesempurnaan itu berubah ketika sebuah sosok memasuki toko buku, dan tatapan mereka saling bertabrakan. Lelaki itu tersenyum, Theresa membalas kikuk. Si lelaki sibuk menjamah buku-buku di rak setinggi setengah badan. Mendadak Theresa memperhatikan lelaki yang terlihat tersenyum itu. Tapi mengapa senyum lelaki itu tidak dilempar pada pelayan toko, hanya pada Theresa?

Bagi Theresa senyum laki-laki itu bukan semata tindakan spontanitas yang dapat diberikan cuma-cuma kepada orang lain, yang bahkan belum dikenal. Baginya, senyum adalah pantulan dari suasana hati seseorang, serta penegas sikap dan sifat seseorang.

Dan, sungguh, senyum itu indah!

Ya, senyum yang diberikan lelaki itu terlihat begitu indah bagi Theresa.

Theresa pandangi lelaki berwajah tirus itu: ia terlihat beberapa tahun lebih muda dibandingkannya. Kulitnya coklat keputihan, manis sekali, tidak se-atletis tunangannya memang, tetapi tidak berarti kurus. Sikapnya memang tegas, terlihat dari cara ia memutuskan membeli sebuah buku dan langsung membawanya ke meja cashier. Lalu membuka pintu, keluar dan menghilang sebelum menatap Theresa lagi dengan matanya yang tajam.

Kini hanya tinggal dirinya sendiri terpaku pada momen yang tidak pernah ia duga sebelumnya.  Ada sejenis rasa pedih menyelinap di balik dadanya.

Selama ini Theresa menjalani hidupnya yang ajeg dan mapan, pengalaman-pengalaman hidup terbatas pada lingkungan yang serba terpenuhi, serba ada, dan tentulah lengkap segalanya ketika ia telah bertunangan.

Tapi, apakah Theresa benar-benar merasa memiliki tujuan dalam hidup? Apakah dengan kelulusannya dari kuliah manajemen atas saran ayahnya adalah kemauannya? Apakah keputusan untuk meninggalkan karir atas permintaan tunangannya agar menjadi ibu bagi anak-anak mereka kelak, keinginannya pula? Apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Apa yang sedang coba ia lakukan? Bukankah hidupnya sudah sempurna?

Lalu Theresa kembali bertemu dengan tatap lelaki itu, sesaat setelah Theresa keluar. Di sana, lelaki itu berdiri beku dengan hisapan rokok didepan sebuah minimarket, persis disebelah toko buku.

“Boleh aku beli buku yang baru kamu beli? Itu satu-satunya yang tersisa di toko itu, bukan? Dan aku sudah lama menginginkannya”. Mendadak Theresa terpaku. Sejenis gelombang darah berkumpul di wajahnya.

Lalu percakapan itu dimulai. Perbincangan sederhana, mengenai toko buku yang baru saja dikunjungi barusan, lalu menjadi diskusi ringan mengenai beberapa buku sastra dan pengarangnya, pada satu coffeeshop, yang kini menjadi favorit Theresa pula.

Begitulah. Laki-laki itu mampu menarik Theresa dengan sikapnya. Dan yang mengkhawatirkan, si lelaki terlalu charming dalam pandangan Theresa. Tapi Theresa menyukai hal itu.

Hingga mereka saling sentuh, mabuk dengan getar yang mendadak lalu tubuh dengan tubuh menjadi satu.

Terlepas dari kenangan perjumpaan pertamanya, kini Theresa sudah menunggu, cukup lama. Tapi lelaki itu belum juga datang. Ada kegelisahan bermain-main dengan nakal di pintu batinnya: sejenis kekacauan atas pikiran yang senang bercampur dengan prasangka dan sentimental.

Theresa bukanlah tipe individu yang melakukan pendisiplinan cara berpikir, kebiasaan macam itu, yang membuatnya suka melantur, kebingungan dan mengalami inefisiensi. Itulah sebab Theresa terlihat tidak fokus dan tidak pula memiliki tujuan tegas dalam hidup. Jadi pertanyaan awal muncul kembali, apakah mata dan senyum benar-benar menyampaikan pesan kebahagiaan? Sekejap Theresa merasakan suka cita, sekejap pula semua itu terbalik hingga muncul perasaan-perasaan pathetic dan kekhawatiran sulit dienyahkan, semuanya seperti cahaya yang menjejak, sempat hadir suka dan gempita, namun sekarang hilang tidak lagi terasa oleh penginderaan. Apa yang menjadikan Theresa sebenarnya? Apa yang menjadikan Theresa seutuhnya?

Hingga laki-laki itu muncul. Tadinya ia ingin melompat dan memeluk lelaki yang tergopoh-gopoh datang menghampiri mejanya, dan permintaan maaf bercampur seloroh keluar beserta alasan-alasan. Theresa hanya mencibir dan menopang dagu lancipnya, sungguh ia senang sekali lelaki itu datang, keterlambatan itu dapat ia pahami, dapat dimaklumi.

“Pikiran-pikiranku menipuku.” Theresa bangkit dan mengapit tas kecilnya.

“I’m sorry, dear!” Lelaki itu menata napasnya yang terengah.

“Apa yang sedang kita lakukan? Setan macam apa yang tengah merasukiku?” Theresa berjalan gontai meninggalkan meja dan menuju pintu keluar.

“Cobalah untuk tidak munafik karena setan yang tengah merangsek kamu dan aku ini, bernama cinta!” Si lelaki menghampiri Theresa, menggengam jemarinya, memberikan lagi senyum yang selalu Theresa dambakan.

Juli 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline