Lihat ke Halaman Asli

Hujan di Mata Pecinta yang Membunuh Istrinya

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya tidak pernah membenci hujan, meski kehadirannya membuat perjumpaan kita terhalang. Perjumpaan yang tidak pernah, baik saya atau kamu janjikan, tetapi bakal terjadi. Namun hujan lagi-lagi mendera kota, kita enggan lagi berjumpa. Begitu pula saya tidak membenci waktu, meski ia terus bergulir meninggalkan perjumpaan kita yang urung. Perjumpaan yang selalu, baik saya atau kamu dambakan, tetapi bakal terjadi. Namun waktu lagi-lagi berlari meninggalkan kita, saya dan kamu belum juga bertemu, itulah yang terjadi.

Terkadang, saya tertawa sendiri mengingat tingkah laku saya seharian ini, mondar-mandir dari sudut ruangan ke sudut lainnya, lalu berbaring menatap langit sambil bergumam “o” dengan nada rendah dan panjang. Mengulang-ulang seiring jam berdetak tanpa henti, dan, ya, detak jam menjadi nada saya. Sesekali saya bangkit, menghadap jendela dan membuka tirai, menatap kosong halaman basah, hujan tidak juga berhenti mendera.

Saya gelisah, tetapi saya tidak membenci, tidak juga bertindak impulsive dengan membanting-banting sesuatu. Terlebih tidak ada barang-barang pecah belah disini, jadi sulit juga bagi saya untuk membuat kegaduhan atau setidaknya mencari perhatian. Derik-derik hujan masih terdengar, masih belum berhenti, padahal saya sudah menunggu dari pagi. Saya lagi-lagi, menghela napas panjang sekali. Gambaran-gambaran keinginan melintas satu demi satu, tetapi tidak satupun dapat dientaskan, karena diluar masih hujan, dan deras sekali.

Waktu bagi saya adalah pengulangan rutinitas yang ajeg, melulu mondar-mandir dari sudut ruangan ke sudut lainnya. Dan apabila hujan hadir, maka tambah sengsara saya jadinya. Karena kehadiran hujan semakin meyakinkan bahwa saya tengah dikekang oleh rantai waktu, terpenjara oleh sesuatu yang semu, kenyataanya hujan datang tiap hari, seperti hari ini. Begitulah saya gelisah dan menghirup napas yang panjang-panjang, hingga dada saya membubung seperti gunung, ketika desis napas habis saya sembur, saya kembali tercenung.

Hujan bagi saya seperti dinding padat yang meniban tubuh, kehadirannya selalu berat meski ia kadang tidak lebat. Saya jadi terkurung diruangan ini, melulu menatap keluar dari jendela persegi, menatap halaman basah. Pasti sakit sekali bila dijatuhi dinding-dinding itu. Ditambah eksistensi waktu, keberadaanya semakin membuat saya percaya bahwa saya terkungkung dalam tempurung oleh dinding hujan, terhalang kuasa alam. Kenyataannya waktu tidak dapat saya pungkiri keberadaannya, ia nyata dengan detak-detak tak henti, ia ada kerena saya mondar-mandir dari sudut ruangan ke sudut lainnya dari pagi hingga petang, contohnya hari ini. Beginilah saya gelisah dan segala keinginan yang ada makin menyintak isi dada, saya ingin memuntahkan rongga-rongga yang sesak dan penuh, tetapi saya tidak dapat bertindak impulsif, saya hanya bisa berbaring menatap langit-langit ruangan dan bergumam panjang, “o”.

Ternyata perjumpaan kita mesih enggan terwujud, memikirkan ini, saya membayangkan perjumpaan kita yang kelak pasti indah. Mungkin kita akan berjumpa dipantai dengan pasir putih dan laut yang biru dan hijau, bukan diruangan ini. Mungkin kita akan berjumpa di puncak bukit pegunungan dengan pemandangan dimana-mana hijau, bukan diruangan ini. Atau mungkin kita akan berjumpa diatas pulau awan putih bersih, dimana kelak kita bangun istana termegah yang pernah kita pikirkan, dan tentu saja bukan diruangan ini. Namun lagi-lagi, terlepas dari segala keinginan itu, kita belum pernah bertemu, itulah yang terjadi.

Joko memasuki ruangan, memicingkan mata menatap saya, lalu mengambil baki dengan piring dan makanan diatasnya, tidak saya sentuh sama sekali dari tadi siang. Dia menghela napas. Memandang sikap saya yang tak bergeming dengan kehadirannya, duduk diatas pembaringan dan meletakan baki di sisinya. Saya menatap baki itu dengan tajam, dan berharap ia tidak membawanya keluar serta dari ruangan setelah ini.

“Saya baru mau memakan makan siang saya itu sebentar lagi.” Seru saya padanya.

Joko tersenyum sinis, “akan saya siapkan makan malam sebentar lagi jam tujuh petang, anggap saja satu jam hukuman karena anda tidak makan siang hari ini.”

Hukuman? Itu hak diriku untuk kapan aku mau menelan makan siangku! “Tidak ada yang menjengukku hari ini, Joko?”

Ia melantunkan tawa kecil yang renyah, saya jadi menoleh kearahnya.

“Apa asal? Saya tidak sedang bergurau dengan kamu!”

“Ya, brother, saya tahu.” Joko mengambil sebungkus sigaret dari saku baju, meletakan ujung diselipan bibir lalu membakar ujung satunya dengan pemantik berwarna biru. Ia hisap dalam-dalam, sedalam yang ia mampu.

Saya menghampiri lalu duduk disebelahnya dengan jarak beberapa hasta, merebut pemantik dari tangannya dan mengambil sebatang, melakukan sama seperti apa yang ia lakukan, menghisap dalam, sedalam yang saya mampu. Saya kenal betul sosok ini, lelaki berumur 30 tahunan dan lebih sering bersikap acuh tak acuh pada keadaan disekitarnya, dan pula pada pekerjaannya.

“Sudah hampir tiga tahun tidak seorangpun menjenguk anda, anda tahu itu, brother!”

“Hari apa ini?” Saya menerawang.

“Jum’at.”

“Tanggal.”

“Empat Juni…”

“Oke.” Belum sempat ia menyebutkan tahun saya memotongnya. “Ketika malam tiba, halaman begitu gelap, tidakkah lebih menyenangkan bila kalian memasang lampu-lampu yang menerangi, saya jadi tidak bisa memandangi halaman saat malam tiba.”

“Saya dipekerjakan bukan untuk mendengar komplain anda, bro.” Joko sedikit gusar.

“Apakah diluar hujan?”

“Tidak, cerah seperti malam-malam dimusim kemarau.”

Terdengar hujan bagi saya, sayup-sayup derap hujan begitu jelas terdengar dalam ruang kepala saya. Saya membisu.

“Saya baru saja mendengar celoteh Wawan di blok  A, ia mengeluh tentang makanan yang disajikan, dan melulu bercerita tentang keinginannya menikah, memangnya dia tidak sadar kondisinya sekarang? Dan para dokter yang mengatasi masalah itu seenaknya mengatur jadwal seminggu sekali untuk pertemuan.” Ia menarik napas berat, “Enak betul kerja mereka, sementara orang-orang seperti kami ini yang mengurus pasien-pasien yang tingkah lakunya kadang tidak dapat ditebak, belum lagi mengurus yang kencing dan berak sembarangan.” Joko menggeleng-geleng sendiri, membuang abu bekas bara sigaret di lantai. “Karena itu saya lebih menyukai anda, mengurung diri tanpa berulah macam-macam.”

Saya tidak menyukai diri saya sendiri! “Kau tidak pernah menyukai pekerjaanmu, Joko!”

“Ya, saya sendiri kadang masih heran, kenapa pula bertahan disini sampai tujuh tahun!”

Ia baru saja mengeluh tentang pasien yang suka mengeluh, lalu sekarang menjadikan saya sebagai tempat baginya untuk mengeluh. Saya membuang puntung sigaret ke lantai dan menginjaknya dengan kaki telanjang, Joko meringis. “Dan kau belum menikah.”

“Anda tahu benar tentang saya, brother.” Ia membuang puntung sigaret tepat didepan kaki saya, saya injak hingga bara padam dan kepulan asapnya hilang, Joko meringis lagi. “Saya sudah menkencani banyak gadis, tetapi tidak satupun yang bisa menjadi jodoh saya, mereka enggan karena pekerjaan saya mungkin.” Ia membakar lagi sebatang.

Mungkin virus-virus orang gila yang kau rawat telah menginfeksi dirimu. “Jadi ini perkara uang?”

“Ya, zaman susah begini, mau kawin saja urusan tetek-bengeknya sudah ribet.” Ia pandangi lantai, menghisap lagi dan lagi. Lalu bangkit dan membawa piring makan siang saya.

Ia berjalan dengan langkah berat menuju pintu, pergi meninggalkan saya untuk berpeluk dengan sepi lagi. Dan sebelum benar-benar menghilang ia berkata dengan cepat, “oh ya, saya membaca berkas anda kemarin malam, tak ada catatan anda pernah melakukan pembunuhan terhadap istri anda, anda bersih. Lalu kenapa anda berada di tempat ini?”

***

Tidak sulit menemukan rumahmu, dengan sedikit mengancam dan memaksa teman-temanmu, saya dapatkan juga alamat rumahmu yang baru disiang ini. Jadi engkau sudah tidak lagi tinggal bersama orang tuamu, engkau tinggal seatap dengan pasangan hidup yang kau pilih, ketimbang diri saya. Kau tinggal di komplek perumahan menengah, semua nampak sepi disini, tidak seperti rumahmu sebelumnya dipemukiman sesak dan sempit serta ramai anak-anak berlarian dan orang-orang lalu lalang.

Saya langkahkan kaki gontai menuju gerbang rumahmu, saya tekan bel yang terselip di tiang pagar, beberapa kali. Dan, oh Zeus, kau keluar dari pintu dengan nampak begitu anggun, hanya saja…

“Dimas!” Engkau tersentak, kehadiran saya begitu mengejutkan nampaknya, “bagaimana kamu bisa disini?” Pertanyaan bodoh.

Saya tersenyum, meski getir merayap di rongga dada. Ia membuka gerbang, lalu mempersilahkan saya masuk. Saya tiada henti memandangi wajahnya yang masih seperti dulu, hanya saja…

“Kamu kemana saja?” Ia tertegun menatap saya, atau mungkin berpikiran yang aneh-aneh. Ia menggiring saya menuju ruang tamu dan mempersilahkan saya duduk. “Aku buatkan teh, eh, kamu mau minum apa?” Kini engkau bersikap kikuk.

Ia berjalan menuju dapur, dan saya masih bisa melihatnya dari sini, tidak ada penghalang antara ruang tamu dengan ruang keluarga sampai dapur. “Sudah berapa bulan?”

Ia nampak sibuk sendiri dengan teh yang tengah ia siapkan, “jalan tujuh bulan.”

Saya menoleh, dan memperhatikan sekeliling, “dimana dia?”

“Siapa, Fandi?” Ia menuju ruang tamu dengan secangkir teh yang mengepul. Lalu duduk dengan sikap kikuk pula.

Saya menggeleng, “anak kita?” saya terus mencari-cari. “Ia pasti sudah besar sekarang, berapa umurnya?”

Ia menelungkup menutupi wajahnya.

“Wulan katakan padaku, dimana anak kita?” Ini perjumpaan yang begitu saya harapkan setelah 3 tahun ini, akan saya curahkan segala kebahagiaan yang saya punya demi perjumpaan dengan anak saya.

Wulan hanya menutupi wajahnya sambil terisak.

“Aku datang hanya ingin berjumpa dengan anakku.” Wulan terus menangis, saya mulai gusar dengan tingkahnya, saya bentak keras, dan memohon agar ia mengucapkan sepatah kata untuk menunjukan dimana anak saya berada.

Ia mulai ketakutan, dan bersikap begitu defensif, saya bangkit dan ingin mencengkramnya. Secepat ia menghindar dan mundur. “Aku menggugurkannya, maafkan aku, Dimas!”

Persetan, “menggugurkannya? Kau aborsi?”

Wulan semakin mundur dan semakin terisak.

Saya tercekat, mendadak kepala terasa begitu panas dan pening menyerang begitu hebat. Tangan saya bergetar.

“Maaf….”

“Setan apa yang merasukimu, wahai perempuan?”

“Ini kehendak Fandi dan ibuku, aku… aku…”

“Oh, demi setan, diamlah…” Saya menahan kepala yang rasanya ingin pecah, “anakku…” bila dewa mengizinkan, tentulah akan saya habisi nyawa kamu saat ini juga.

Diluar hujan, suara derik jatuhannya terdengar begitu keras, mungkin bukan air yang terjatuh dari langit, mungkin waktu. Dan begitulah kelebatan berdatangan seperti terjangan ribuan hama yang meyerang diri saya... saya kolaps…

***

Dulu saya punya kisah begitu indah bersama Wulan, kami satu kampus dan selalu berbagi. Hari-hari kami tidak lepas dari genggaman erat ditangan, saya tulus mencintainya, dan dengan keberadaannya disisi saya, semua menjadi sempurna. Saya begitu yakin para dewa diatas sana merestui kami berdua, kembang-kembang cinta mekar selalu bersemi. Kami tebar janji-janji, kami pasung komitmen-komitmen rangkaian indah berdua, kami ukir jejak-jejak penuh tawa bersama. Keyakinan saya melebihi iman yang saya punya pada dewa. Saya mabuk, saya buta, tidak satupun bakat saya asah demi diri sendiri, prioritas saya adalah Wulan. Ia begitu eksis dalam pikiran saya, ia begitu nyata dalam relung hati saya. Dan mungkin hanya setan yang tahu, sesungguhnya Wulan tidak akan pernah tergantikan

Sampai, Wulan wisuda dengan hasil mengembirakan, sementara saya bertahan satu atau dua semester karena SKS yang tidak terkejar. Wulan bekerja diperusahaan berkembang, sementara saya berkutat dengan kehadiran menghadap dosen dan segala tugas serta ujian. Wulan sibuk dengan pekerjaannya, sementara saya demam merindukan keberadaannya disisi saya. Komunikasi terhalang, rasa sayang tidak tersampaikan, dan inilah pertama kali saya merasakan sakitnya berada di neraka dunia.

Ya, Wulan membuang saya. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman kantornya, saya tidak habis pikir, setan mana yang tengah merasuki jiwanya? Saya kalap, pada suatu kesempatan saya tiduri dirinya, ia menangis tidak karuan, saya hanya berharap ia kembali pada saya. Namun rupanya ini menjadi pemicu kehadiran jurang yang semakin dalam antara kami. Saya gila, harapan telah saya tumpahkan seluruhnya pada Wulan, dan rupanya dewa murka pada kealpaan saya pada mereka. Ya, ya, ya… saya memilih gila.

Saya hanya ingin menggendong anak saya, buah cinta kasih hasil benih yang saya taburkan pada rongga kewanitaanmu, dari ovum yang berkembang sebelum merubah dirinya menjadi zygot. Anak yang saya harap menjadi pemersatu kita dalam pelaminan yang saya impikan, anak yang kelak berkembang dan tumbuh dengan fisik yang mengambil bagian-bagian dari tubuh kita. Yang akan kita rawat dengan penuh perhartian dan kasih sayang, anak yang kelak saya nafkahi dengan seluruh upaya saya. Tetapi keluargamu berkehendak lain, saya hanya dianggap gelandangan, meski memang saya tidak memiliki apapun selain cinta yang saya punya.

Wulan dirimu adalah kembang abadi yang selalu mekar dihati saya, engkau anugrah pemberian dewa-dewa yang ingin saya jaga, saya selalu kasihi dan tiada hentinya saya ingin memandikanmu dengan lumuran cinta tulus yang selalu dan satu-satunya saya punya. Dan hari itu ketika engkau mengandung buah cinta saya kepadamu, engkau lebih memilih menyetujui permintaan orang tuamu, tidakkah engkau tahu ini menghancurkan prasasti harapan saya, tidakkah engkau tahu sosokmu adalah satu-satunya alasan saya untuk terus bernapas, tidakkah engkau tahu saya mengaggungkan cinta karena tidak pernah merasakannya semenjak saya dilahirkan lantaran bapak dan ibu entah berada dimana? Semenjak keputusanmu saya lebih sering mencabik tubuh saya sendiri, apapun yang tengah saya kerjakan sama sekali tidak bermakna, saya mati rasa, tidakkah engkau lihat? Tanpamu saya tidak sempurna sebagai manusia.

Dan saya memilih gila, setidaknya lebih baik ketimbang memutuskan menyayat nadi. Meski terkadang justifikasi orang-orang terhadap pilihan untuk menjadi gila terlalu berlebihan, bukan sebagai individu yang tengah sakit, namun ditendang keluar dari sistem sosial, meski memang saya tidak bersosial. Ah, dewa-dewa diatas sana tengah murka pada saya, mereka merebut kembali anugrah yang mereka berikan lantaran saya tidak memberikan persembahan berupa sesaji di altar mereka, saya jadi sadar sekarang, rupanya dewa juga punya ego, mengharapkan timbal balik dari hambanya.

Waktu bergulir tanpa saya sadari, hujan berdatangan hari demi hari dangan curah yang tinggi, dan saya jadi menggabungkan keduanya karena mereka tampak lebih akrab kepada saya. Hujan waktu, langit menjatuhkan suara berat-berat seiring malam dan siang berganti, dan saya tidak juga berjumpa dengan anak yang begitu saya harapkan kehadirannya di dunia, dimana mungkin saja, bisa menjadi alasan saya yang kedua dan baru, untuk tetap bernapas dan bertahan dalam kehidupan dunia yang sebegini keras.

2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline