Lihat ke Halaman Asli

Pelarian

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13432055581329791612

[caption id="attachment_189616" align="aligncenter" width="245" caption="a girl, hoping the sky fall "][/caption]

Indah berlari sekuat tenaga, menantang terik pada Jum’at seperti biasa. Indah tidak lagi memperdulikan peluh yang telah membasahi wajah dan tubuhnya, beban berat yang ia panggul semakin menyiksa dan menciptakan rasa nyeri yang tidak terperi pada tengkuk dan seluruh pundaknya. Tapi Indah bersikeras, ia meyakinkan dirinya bahwa ia sanggup, bahwa ia kuat, bahwa ia tegar, meski ia sadar bahwa kekuatan yang ia miliki tak mampu lagi menahan sergapan lelah yang memaksanya segera kolaps, memintanya agar beristirahat sejenak saja. But she persist!

Setiap langkah larinya yang kesekian, Indah mengenang jejak-jejak yang ia tinggalkan sudah, jejaknya penuh warna, namun sebagian besar ia tahu warna itu darah, dan ia tahu kakinya terluka. Menyedihkan untuk memperhatikan keteguhan yang Indah miliki untuk berlari. Ia terlalu memaksakan dirinya, hingga lupa bahwa ia bukan seorang perempuan yang mampu untuk itu. Otot-otot pada kakinya mungkin telah mengeluarkan banyak asam amino karena bekerja diluar batas, mungkin seluruh sel pada tubuhnya memberontak minta oksigen dengan keadaan tenang dan nyaman, bodohnya Indah terus saja berlari. Kasihan, ia perlu ruang, ia perlu tempat, tetapi siapa yang tahu dimana ruang itu yang ia inginkan sangat, dimana tempat itu yang ia harapkan ada? Sayang tak satupun orang mengerti, begitu pula sahabat miliknya, semua menggeleng, semua tak paham.

Jum’at selalu terik, angin berhembus mengibaskan seluruh dahan dan membuat beberapa daunnya berterbangan. Debu dari segala sudut dan aspal melayang-layang menerpa apapun yang menghadang. Dan Indah terus menerjang…

Sampai kapan? Itu yang menjadi pertanyaan, Indah sendiri berlari tanpa sadar, mungkin karena reaksi instinktif semata atau ia memiliki motif yang kuat baginya untuk melakukan itu. Dan, ya, mungkin ia melakukan perbuatan itu karena sebuah alasan, akibat terjadi karena sebuah sebab, bukan? Dan apapun itu, biarlah Indah sendiri yang mengetahuinya, melihat sebegitu keras ia berusaha berlari, melihat kesungguhannya hingga menampik rasa letih yang seharusnya Indah turuti, biarkan saja Indah berlari. Mungkin saja tiada guna menghalanginya, sia-sia menyuruhnya berhenti. Lihatlah jalanan bekas derap kakinya, semua basah karena peluh yang terjatuh, karena itu ia pasti tengah menuju kepada suatu tujuan. Dan biarkan ia berlari.

Hingga pada suatu moment, Indah terlihat hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan, namun dengan cekatan, meski terlihat lemah, ia kembali mendapatkan keseimbangannya lagi, dan bersusah payah meneruskan derap cepat kakinya walau langkah yang Indah miliki terasa jauh lebih pendek dari sebelumnya. Kehilangan keseimbangan itu bisa akibat dari berbagai faktor, pertama bisa saja Indah merasakan nyeri pada beberapa bagian kakinya karena rasa lelah yang teramat. Kedua, mungkin salah satu jemarinya terantuk batu hingga ia kehilangan kendali atas kecepatan gerak langkah kaki. Ketiga, bisa jadi keseimbangan yang Indah miliki telah terjatuh dan hilang disuatu tempat hingga ia menggantinya dengan keseimbangan baru tadi saat hampir terjatuh. Dan rasanya yang ketiga ini lebih tepat, karena beberapa saat Indah kerap menoleh kebelakang, mungkin ia merasakan sesuatu yang terjatuh, dan tergeletak diatas jalan. Hal ini berpengaruh pada gerakan Indah, pada derap kakinya, pada panjang-pendeknya langkah yang Indah miliki, mungkin disebabkan oleh efek dari bentuk keseimbangan itu sendiri, meski memiliki posisi kegunaan yang sama, namun efeknya jelas akan berbeda, bagaimanapun bentuk memiliki kegunaan pula, entah dari besar-kecilnya, atau mungkin dari ruang yang tersedia, dan bisa jadi dinilai dari pandangan estetika bentuknya. Bagaimanapun itu yang jelas lari Indah berbeda dari sebelumnya, dan musti ia terus berlari…

“Lihatlah! Kakinya sampai berdarah-darah seperti itu, tidakkah engkau, wahai Sachiel, memiliki sedikit saja belas kasih untuk memintanya berhenti.” Jasmine mengguncang-guncangkan pundak Sachiel, ia tampak begitu mengkhawatirkan Indah yang masih saja berlari.

“Haruskah aku…?” Sachiel menanggapi dengan dingin, menghisap sigaret dan menikmatinya dengan tenang.

“Ya! Kita berdua tahu, dan setan juga tahu bahwa karena dirimu ia berlari seperti itu.” Jasmine begitu gemas melihat Sachiel yang masih saja tanpa reaksi.

“Begitukah?” Sachiel memalingkan pandangan dari Indah yang terus berlari, membalikkan badan dan mengambil langkah. “Kapan itu kau dengar pula bahwa ia ingin menuju tempatku, dan usahanya ini adalah sebuah proses.”

Tanpa mengalihkan perhatiannya dari Indah, Jasmine berusaha menarik lengan Sachiel agar tidak beranjak, namun Sachiel mengelak. “Tapi aku…”

“Dan sebuah pilihan bijak jika saja engkau diam dan menunggu hasilnya!” Sachiel berkalimat tegas memotong perbincangan. Ia menghilang ditelan kaki bukit.

“Tapi aku… aku berada disini tanpa melalui proses sepertinya.” Jasmine berbicara pada dirinya sendiri dan menutup mata.

Jasmine mengenang, menelusuri jejak bekas derap kaki Indah bernoda darah. Kilatan-kilatan memori melintas dalam pikirannya. Lalu menemukan hari itu, hari paling muram semenjak ia memutuskan mengikuti langkah Sachiel selama 3 tahun ini. Hari dimana ia merasa paling sunyi dan paling sendiri, kegelapan total. Hari ketika ia menemui Indah pada sebuah café sederhana di pojok kota, dan melakukan perbincangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Tujuanmu?” Jasmine bertanya lugas.

“Menjadi dirinya…” Indah menjawab dengan nada yang rendah, ia memainkan sendok kecil pada bibir cangkir. Matanya tidak teralihkan dari permukaan teh dalam cangkir yang masih mengepul dan hangat.

“Urungkan! Terlalu banyak kemajuan yang ia dapatkan berdasarkan pengalamannya sendiri, dan kau tak mungkin mampu menyamainya. Tak ada ruang untukmu…  perempuan seperti dirimu.”

“Aku akan berusaha.” Indah menyangkal.

“Kenapa kau bersikeras?”

“Bila ada keinginan, disana ada jalan”

“Optimis sekali?”

“Aku dilahirkan begitu!”

“Ya, tampak jelas.” Jasmine menggeser cangkir espressonya, “senangnya menjadi dirimu! Hidup mudah…”

Indah kini mengangkat wajahnya, memandang Jasmine lekat, “aku yang iri padamu!”

“Tentu saja, melihat bagaimana obsesimu untuk menjadi dirinya. Tidak aku ragukan, kau ingin pula mengikuti langkahnya.” Jasmine tersenyum tipis karena merasa pada posisi kemenangan.

“Berikan aku waktu mengganti dirimu sehari saja!” Indah kini memohon.

Jasmine menggeleng ringan, adalah keputusan bodoh bila mengizinkan Indah menggantikan langkahnya dibelakang Sachiel, meski itu hanya untuk satu menit sekalipun.

“Tidakkah engkau mengerti…”

Jasmine teguh pada pendiriannya, ia tetap menggeleng.

“Itu akan sangat berarti sekali untukku… aku mohon!”

“Aku tidak mengerti…. Aku tidak mengerti…. Meskipun sedetik, langkah ia yang kuikuti teramat berarti untuk digantikan oleh apapun.” Kali ini kalimat Jasmine terdengar keras. “bukankah engkau perempuan pula, bila benar begitu mengertilah andai saja dirimu berada pada posisiku, tempat dimana aku berpijak, dimana lagi aku harus berdiri. Mengertilah, tak ada tempat untuk dirimu!”

Indah belum juga mengendurkan ego-nya, ia tetap bersikeras. Ada yang berharga dari Sachiel yang musti ia dapatkan, yang musti pula ia ikuti. Namun apakah harus ia paksakan kehendaknya, dan itu mungkin akan menyakiti Jasmine yang sudah sejak lama mengikuti langkah Sachiel. Kalimat Jasmine tentu mengetuk pintu kebatinannya, ia sadar betul ia seorang perempuan pula dan akan teramat sakit bila mendapatkan perlakuan seperti yang dilakukannya. Tetapi Indah hanya ingin menjadi Sachiel, sebuah keinginan yang sederhana pikirnya, namun mengapa berat dan terlalu banyak rintangan hingga keinginan sederhana tersebut menjadi begitu rumit. Terlebih sebuah keinginan sederhana mampu juga menyakiti perasaan orang lain yang tentu saja bukan obyek yang diinginkan. Kenapa bisa? Pikirnya.

Dan apa yang lebih menjengkelkan bagi indah selain pertanyaan-pertanyaan yang tidak juga mendapatkan titik terang, dan lebih menyesakannya ketika sekonyong-konyong Jasmine beranjak meninggalkan meja ke pintu keluar café. Yang ia dapatkan pada akhirnya hanyalah bayangan visual punggung Jasmine yang meninggalkan dirinya barusan, sebuah kekalahan besar.

***

“Karena aku malaikat, Ndah! Itu yang membedakan kita. Aku hanyalah sebuah program standar dengan mekanisme ajeg dan pengulangan yang rutin, menopang keseimbangan dunia antara kebaikan dan keburukan. Jauh berbeda denganmu.” Sachiel mengembangkan sayapnya. “Engkau, mampu menciptakan kebenaran berdasarkan interpretasi pengalaman hidupmu, dan disitu yang menjadikanmu mulia, bersinar dengan cahaya, atau tetap mengurung diri dalam kegelapan.”

Indah memandang dalam-dalam dirinya sendiri, menciptakan prosa dalam pikiran, apa yang membuat dirinya berusaha sekeras yang ia mampu?

Persoalannya adalah Jasmine hanya sebuah bayang yang ia kagumi, tak lebih dari bias pikiran-pikiran antara nilai kebaikan yang ia punya, dan Jasmine tidak benar-benar pergi. Serta kegagalan menjadi seorang Jasmine bukanlah sebuah tragedi, kemampuan dirinya berusaha menjadi perimeter bagi dirinya sendiri untuk menilai sisi kemanusiaan dirinya sendiri, dan itulah yang penting. Hingga sampai saat ini, pelariannya berakhir di pantai kebebasan, yang sebelumnya sama sekali belum ia jejaki.

“Saksikan aku Sachiel!” Gumamnya, “aku tidak tengah kabur ke pantai kebebasanku, tidak sekedar menapakan kaki pada pasir-pasir emas lalu menaburkan anggur pada gulungan ombak-ombak, tidak pula kutabuh drum gempita, seperti sebelumnya. Bagiku, deru ombak adalah nasihat dirimu.”

Sachiel membisik, “seberapa hebat kau berdiri, namun apabila engkau bukan terumbu karang, lumat engkau tersapu oleh ombak. Disini kusaksikan engkau menjumput ketegaran, kau pasak jari-jari kaki sedalam pasir.”

“Aku mengerti, pantai kebebasan bukan tapak tilas pesta, bukan pula tempat membuang sampah. Meski bukan berarti aku menjadi orang suci, di pantai ini makna hidup kutemukan, bahwa telapak tanganku tidak akan pernah mampu seluas samudra.”

2009




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline