Lihat ke Halaman Asli

Aku Belum Merdeka

Diperbarui: 9 Agustus 2017   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku Belum Merdeka!

Suyadi

Merdeka! Merdekaa! Merdekaaa ...! Teriakan kebebasan yang luarbiasa dari orang-orang yang baru terbebas dari perhambaan, terbebas dari penjajahan, lepas dari penindasan, terlepas dari kekangan, terbebas dari kungkungan dan banyak lagi makna yang berhubungan dengan kata 'merdeka'. Kebebasan yang kita raih itu memiliki arti bahwa kita terbebas dari segala macam bentuk keterikatan, baik keterikatan secara fisik maupun keterikatan secara batin. 

Kita sudah semestinya bisa menikmati kebebasan dalam kedua bentuk kemerdekaan itu. Akan tetapi kebebasan itu jangan sampai menerobos atau menghancurkan atau mengganggu kemerdakaan orang lain. Sebab jika kita menghancurkan atau mengganggu kemerdekaan orang lain itu sama artinya kita menjajah orang lain dengan perbuatan kita.   

Dalam tulisan kali ini saya mengajak para pembaca sekalian untuk mengintrospeksi diri sendiri sehubungan dengan kemerdekaan individu. Pertanyaannya adalah apakah aku sudah merdeka? Apakah kemerdekaan itu sudah paripurna dalam kehidupan sehari-hari? Atau kemerdekaan itu hanya sekedar keyakinan di dalam diri setiap individu manusia?

Kemerdekaan-Ku

Seringkali aku bertanya kepada diriku sendiri dalam hati, apakah aku benar-benar merdeka tanpa ada beban yang harus memberatkanku. Apakah kemerdekaan itu benar-benar nyata dalam hidupku? Lalu aku coba menjawabnya dengan menguraikan sebagian jawabannya. Aku mulai dari bangun tidur. Ternyata mulai dari bangun tidur kemerdekaan tak seratus persen dapat kunikmati sebab aku masih harus menunaikan shalat shubuh sebagai salah satu bentuk kepatuhan kepada Allah SWT. 

Kewajiban menunaikan ibadah sebagai seorang hamba Allah SWT yang patuh! Ternyata kepatuhan itu menjadikan seseorang tak mampu menikmati kemerdekaannya. Allah SWT dalam hal ini menjadi 'penjajah' dalam keyakinan Islam-ku. Karena aku merasa segala yang kupunya dalam hidup ini adalah milik-Nya sehingga aku sangat tergantung kepada-Nya. Meskipun aku tahu bahwa kemerdekaan itu tak mungkin aku raih seutuhnya.

Pada sisi lain kehidupanku ternyata kau juga seorang 'penjajah' terhadap keluargaku. Terhadap istriku begitu banyak aturan yang mungkin terpaksa harus disetujui demi kepatuhannya sebagai seorang istri. Maka terjajahlah dia sebagai istriku. Begitu juga terhadap anak-anakku. Aturan yang mengikat demi mengarahkan mereka kepada kebaikan saat ini dan kemungkinan kebaikan pada masa depan mereka menjadi terjajah. Mungkin begitu juga yang terjadi pada kehidupan para pembaca.  

Lalu aku bandingkan kepada kehidupan sehari-hari manakala seorang bawahan pada sebuah institusi menjadi sangat patuh kepada atasannya dengan berbagai alasannya, maka bisa diyakini bahwa sang bawahan tersebut menjadi seseorang yang terjajah secara individu. Dia terjajah karena kebutuhannya. Dia ingin memenuhi kewajiban dalam rumah tangganya dengan menjadi seorang yang terjajah di tempatnya bekerja. Sementara itu, sang atasan tentulah menjadi 'penjajah' atas bawahannya karena begitu banyak tuntutan kerja yang harus dicapai dengan cara menggerakkan semua sumber daya yang ada di dalam institusinya.

Kemerdekaan Kita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline