Lihat ke Halaman Asli

Suerwan

Guru SMP Negeri 20 Surakarta

Lunturnya Budaya Tegur Sapa di Sekolah

Diperbarui: 20 Januari 2023   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Toleransi adalah Budaya warisan nenek moyang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Hal tersebut merupakan kekayaaan Bangsa Indonesia yang tersohor di mancanegara sampai sekarang.  Seperti yang pernah dikatakan salah satu tokoh dunia tentang keindahan toleransi Indonesia yaitu " toleransi di Indonesia seperti sebuah kue berlapis-lapis yang enak untuk dilihat dan dinikmati." - John F. Kennedy

Bila kita menelaah lebih lanjut tentang implementasi toleransi dalam ruang khusus di masyarakat jawa, maka hal tersebut akan tersirat dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Tuturan merupakan salah satu komponen terpenting dalam relasi sosial antar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Peran tuturan inilah akan memperkuat pertalian keakraban sosial di dalam masyarakat berbudaya. Kapan seseorang harus bertegur sapa dan kapan seseorang harus diam, semua diatur dalam pranata sosial dan strategi bertutur dalam kehidupan bermasyarakat, tercermin pada bagan-1. 

Pada bagan-1, pranata sosial mempengaruhi semua komponen tutur dalam peristiwa tutur, termasuk di dalamnya bertegur sapa, beranjang-sana, bercerita, dan berbicara. Bentuk korelasi pengaruh ditandai dengan (anak panah). Tegur-sapa dalam masyarakat Jawa memiliki dua bentuk, yakni bentuk verbal dan nonverbal (kegiatan fisik). Bentuk verbal dapat diwujudkan melalui ucapan/lisan. Bentuk kegiatan fisik diwujudkan melalui kunjungan/silatuhrami, kegotong-royongan, dan saling membantu, tercermin pada bagan-2. Pada tulisan ini tegur-sapa difokuskan pada kegiatan verbal, yakni sapaan sosial. 

Bila kita korelasikan dengan karakter peserta didik atau yang dikenal dengan generasi Z atau era milineal saat ini. Maka hal tersebut tentunya akan menjadi ironis untuk diperbincangkan. Hal tersebut dapat terlihat bagaimana peserta didik sekarang memiliki sikap yang apatis terhadap orang di sekelilingnya.  Bahkan ironinya peserta didik saat ini lebih cenderung jarang membuka obrolan bersama orang tuanya yang menjadi teman sejati sejak mereka dilahirkan di dunia. Tegur sapa yang mereka lakukan lebih dominan tentang rutinitas sehari-hari yang berkutat antara hak dan kewajiban belaka. 

Hal ini tidak jauh dengan kondisi di lingkungan Sekolah yang menjadi bagian dari ruang lunturnya budaya tegur sapa di kalangan peserta didik. Kondisi ini dapat terlihat bagaimana sikap peserta didik ketika melintas di depan Bapak dan Ibu Guru, mereka akan dengan percaya dirinya melintas tanpa sepatah katapun. Bahkan hal tersebut juga tidak nampak tersirat pada gerakan tubuh yang menunjukan sikap menegur atau menyapa. Kondisi ini tentunya sangat jauh dari budaya dan karakteristik peserta didik yang telah diajarkan oleh bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara. 

Maka sudah semestinya, sebagai seorang pendidik di Indonesia untuk mengembalikan nilai-nilai toleransi atau tepo sliro ditengah-tengah peserta didik di Indonesia. Pendidikan karakter menjadi penting untuk dijadikan pekerjaan rumah prioritas di setiap instasi pendidikan. Pembiasaan-pembiasaan bertegur sapa tentunya harus dimulai dengan memberikan pemahaman terhadap konsep toleransi dengan baik. Salah satu halnya adalah konsep yang muda harus memulai menegur yang lebih tua. Konsep tersebut penting untuk menjadi dasar untuk diimplementasikan mulai dari peserta didik maupun Guru itu sendiri. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline