Di akhir bulan Januari 2017, saya menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Bappenas untuk membahas pemaparan mengenai nila jasa lingkungan kawasan konservasi di Sulawesi. Kajian dilakukan di Taman Nasional (TN) Bogani Nani Wartabone di Gorontalo, TN Lore Lindu di Sulawesi Tengah, dan Cagar Alam (CA) Tangkoko Batuangus di Sulawesi Utara. Ketiga kawasan itu merupakan target dari proyek UNDP bernama E-PASS (Enhancing the Protected Area System in Sulawesi) yang berdurasi 2016-2020.
Berkali-kali nama Tangkoko disebutkan dalam presentasi itu, berkali-kali pula jantung saya berdegup kencang. Tangkoko, tempat saya belajar konservasi itu diduga memiliki nilai ekonomi $AS 4,82 juta per tahun atau $AS 812/hektar/tahun. Dengan nilai tukar Rp. 13.000 per dollar, maka Tangkoko menghasilkan Rp.62 miliar lebih per tahun.
Dari mana sumbernya dan kemana saja aliran dana itu, kita tunggu saja hasil akhir kajian itu. Peneliti WCS yang melakukan kajian menyatakan bahwa kawasan yang dimaksud Tangkoko adalah komplek hutan yang terdiri dari CA Tangkoko Batuangus, CA Duasudara, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus dengan luas total 8 ribuan hektar.
Saya bertanya-tanya apakah CA Tangkoko Batuangus itu masih ada secara hukum? Bukankah namanya telah dihilangkan dengan sengaja dari radar kehutanan Indonesia?
Hilang? Iya… hilang secara hukum. Tamat riwayatnya sejak 25 Maret 2014, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.1826/Menhut-VII/KUH/2014[i] tentang Penetapan Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan Duasudara Seluas 8.545,07 (Delapan Ribu Lima Ratus Empat Puluh Lima Dan Tujuh Perseratus) Hektar Di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
Butir Kesatu Kepmenhut itu menyatakan bahwa kawasan hutan yang dinamakan Kelompok Hutan Duasudara terdiri dari CA Duasudara (7.247,46 ha), Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih (649,04 ha), dan TWA Batu Angus (648,57 ha). Dengan memperhatikan luas awal CA Duasudara (4.299 ha) saat dibentuk, maka dapat dipastikan bahwa CA Tangkoko Batuangus telah ditiadakan, dilebur ke dalam CA Duasudara.
Sebagai kementerian teknis yang mengelola sumberdaya hutan di Indonesia, maka secara yuridis Kementerian Kehutanan memang berhak menentukan nama. Namun bagaimana pejabat kementerian menentukan nama suatu kawasan? Mengapa Kepmenhut SK. 1826 tahun 2014 memilih nama Kelompok Hutan Duasudara dan melebur CA Tangkoko Batuangus ke dalam CA Duasudara? Apa dasarnya? Padahal CA Tangkoko Batuangus lebih terkenal di kalangan peneliti biologi, tercantum dalam jurnal, buku panduan, literatur ilmiah dan popular, dipromosikan para pelaku wisata sebagai target destinasi wisatawan dalam dan luar negeri?
Mari kita lihat buku Ecology of Sulawesi (Whitten dkk., 2002) yang menjadi acuan wajib para peneliti di Sulawesi. Di dalam indeksnya, kita tidak akan menemukan kata Cagar Alam “Dua Sudara”, “Dua Sudara”, atau “Dua Saudara”. Tetapi nama Tangkoko Batuangus ditemukan di dalam 14 halaman. Bahkan Alfred Russel Wallace menulis pengalamannya melihat Maleo bersarang di Batuputih sekitar Tangkoko pada tahun 1859. Jadi…, mengapa CA Tangkoko yang dihilangkan oleh Kementerian Kehutanan
Berdasarkan SK Gubernur Jenderal itu, hanya ada tiga kawasan konservasi di Sulawesi yaitu Tangkoko Batuangus dan Gunung Lokon (Sulawesi Utara) dan Bantimurung (Sulawesi Selatan). Sedangkan Gunung Dua Sudara pertama kali ditetapkan sebagai kawasan hutan (bosch) seluas 4.299 ha berdasarkan GB No. 38 tanggal 2 April 1932.
Kawasan hutan Gunung Dua Sudara itu baru diubah dan ditetapkan sebagai cagar alam pada tanggal 13 November 1978 melalui SK Menteri Pertanian No.700/Kpts/Um/7/78 dengan luas yang sama. Berdasarkan fakta tersebut, jelaslah bahwa CA Tangkoko Batuangus lebih tua 59 tahun daripada CA Gunung Dua Sudara.
Sejak 24 Desember 1981, Menteri Pertanian dengan SK No. 1049/Kpts/Um/12/1981 memecah CA Tangkoko Batuangus menjadi tiga kawasan, yaitu CA Tangkoko Batuangus (3.196 ha), Taman Wisata[ii] Batu Putih (615 ha), Taman Wisata Batu Angus (635 ha). Menurut SK tersebut, area seluas 1.250 ha di CA Tangkoko Batuangus sudah terganggu aktivitas manusia, tidak memenuhi syarat sebagai cagar alam tetapi memiliki keindahan alam berupa pantai, perairan laut dan biota lautnya. Namun faktanya, pengunjung yang datang ke TW Batu Putih lebih banyak yang memasuki area CA Tangkoko Batuangus untuk melihat keunikan satwa terestrial, bukan perairan lautnya!