Lihat ke Halaman Asli

Suer@nywhere

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Pet Detective van Java

Diperbarui: 26 April 2016   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: wowshack.com

Tugas yang aneh. Target operasi: Owa Jawa (Hylobates moloch) yang dipelihara masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Berasa disuruh nyari jerami ditumpukan jarum gak sih?

Kalau sudah ketemu, mau diapain? Nah ini dia, cuma sedot sedikit darahnya atau cabut beberapa helai rambutnya. Gampang? Bah!! Mana ada Owa Jawa yang ikhlas sukarela jadi pendonor darah atau dicabut rambutnya?

Terus buat apa darah dan helaian rambut itu? Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Yeee emang nggak ada.

Sebagaimana yang diketahui masyarakat ilmiah, si Owa Jawa hanya ada di Pulau Jawa, alias endemic. Penyebarannya terbatas di kantung-kantung kawasan konservasi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mengingat tempat hidupnya sudah terbelah-belah oleh jalan, perkotaan, pemukiman, dan pertanian sejak lama, maka diduga adanya penurunan keragaman genetik.

Ilustrasinya begini. Keluarga Owa Jawa di Ujung Kulon sudah tak mungkin kawin dengan Owa Jawa di Gunung Pangrango, apalagi dengan populasi di Gunung Slamet. Secara alami mereka kawin dengan individu yang ada toh? Nah, sifat-sifat genetika yang diturunkan menjadi kurang bervariasi. Bandingkan dengan orang Jawa yang kawin dengan berbagai suku bangsa, maka tampilan genetikanya makin beragam kan?

Dengan logika ilmiah seperti itu, Pusat Studi Biodiversitas Universitas Indonesia ingin memastikan apa betul telah terjadi penurunan keragaman genetika Owa Jawa. Dengan bantuan teknologi canggih, kita sudah dapat mengidentifikasi keragaman genetika suatu spesies dari materi genetik berupa darah, feces, dan akar rambut. Maka pada tahun 1995-1996, dibentuklah tim pet detective untuk “berburu” Owa Jawa.

Idealnya materi genetik itu didapatkan dari satwa yang hidup di alam liar. Tapi asal tau aja nih, untuk bisa melihat Owa Jawa di hutan alami itu pekerjaan setengah mati. Apalagi merayu owa untuk turun dari atas pohon, lalu kita ambil darahnya atau cabut bulunya. Serius, itu pekerjaan dua kali setengah mati!!

Owa Jawa hidup dalam norma keluarga kecil bahagia (bapak-ibu dan 1-2 anak) di bagian tengah dan kanopi pohon. Bergeraknya dengan tangan (brakiasi), bergayutan dari pohon ke pohon, mirip akrobat sirkus dengan kecepatan naujubilah. Kita hanya sempat dengar grusak... grusakkk... Beberapa detik kemudian si owa memandang kita dengan tatapan sedih dari kejauhan, “Suck my blood if you can, bro...

Kalau kita yang lebih dulu melihat owa, lalu mereka kaget, dan kabur terkencing-kencing sambil buang kotoran dari ketinggian. Akibatnya, kotoran padat dan cair itu berhamburan kayak hujan. Di situ kadang saya merasa sedih campur senang menjadi...shit collector!!!

Untuk menyiasati kesulitan itu, kita juga mencari Owa Jawa di kebun binatang dan yang dipelihara masyarakat. Dari masyarakat? Jangan kaget dulu ah, waktu itu Undang-undang Konservasi umurnya masih balita. Peraturan Pemerintahnya juga belum lahir. Sebagai kebijakan transisi, masyarakat yang memelihara satwa liar dilindungi wajib lapor ke BKSDA. Satwanya dianggap milik negara yang “dititipkan” ke masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Jika habis jangka waktunya, ya harus lapor lagi. Hebat kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline