Banyak peradaban-peradaban besar dunia tumbuh di tepi sungai, keberlangsungan kota dikompensasi oleh berkah yang dibawa oleh aliran sungai. Mesir kuno, Mesopotamia dan Harappa adalah sedikit contoh dari peradaban yang disokong oleh sungai. Di era modern pun banyak kota-kota dunia yang tumbuh dan berdampingan bersama sungai, sebut saja London dengan sungai Thames-nya,
Basel dengan sungai Rhine-nya atau Paris dengan Seine, sungai-sungai di kota tersebut seolah punya sentuhan magis yang mampu menciptakan romansa keindahan. Bagi mereka sungai adalah berkah yang harus disyukuri, sebab di situ para warga dapat mendulang memori romatis. Sungai adalah lekuk keindahan.
Tapi, hal itu belum berlaku pada warga Jakarta dengan sungai Ciliwung, Ciliwung begitu banyak menyimpan memori kesedihan, juga menjadi sumber kecemasan bagi warga. Ciliwung acap meluap sewaktu-waktu tanpa sempat memberikan tanda, menyisakan kesedihan yang cukup membekas di ingatan para warga. Kendati demikian, warga Jakarta tidak pernah menyerah, bersama Pemprov DKI mereka masih dengan gigih mengubah wajah Ciliwung. Kotor, butek, bau, dan sumber banjir diharapkan tidak lagi identik dengan sungai Ciliwung.
Sungai Ciliwung tidak pernah luput dari perhatian pemerintah, begitu banyak program diciptakan untuk merubah wajah Ciliwung, tapi belum ada kenampakan yang signifikan dari wajah Ciliwung. Pada masa Ahok menjabat sebagai gubernur, dia mengambil langkah revolusioner dengan menertibkan lalu merelokasi beberapa rumah yang ada di bantaran sungai Ciliwung, langkah itu diambil sebagai langkah untuk normalisasi sungai Ciliwung. Hari-hari ini wajah Ciliwung mulai berangsur membaik, tumpukan sampah tidak lagi terlihat menghambat aliran sungai, rumah-rumah semi permanen tidak lagi terlihat berjubel menutupi keindahan lekuk sungai dan banjir bisa dikontrol dengan sungai yang lebih lebar. Keberhasilan yang bisa dibanggakan, wajah Ciliwung yang dulu semrawut berangsur membaik. Saat senja, di beberapa titik tepi aliran sungai Ciliwung dapat digunakan sebagai tempat menghabiskan hari yang menyenangkan, untuk sekedar bercengkrama, jogging atau bersepeda.
Pada Pemilihan Kepala Daerah saat ini, Ciliwung kembali menjadi pusat perhatian, para calon berebut simpati dengan memanfaat aliran sungai Ciliwung. Ada semacam berkah yang mengedap di dasar sungai Ciliwung, dapat memanfaatkan berkah itu berarti dapat memberikan manfaat pada para warga sekitat aliran sungai. Dalam pemilu, adalah hal wajar para calon untuk unjuk program sebagai wujud kontestasi kebijakan, tapi adalah tidak bijak jika ada calon yang menepuk dada di atas hasil kerja orang lain, lalu sesumbar dengan programnya. Tidak dapat dipungkiri kinerja gubernur non-aktif memang secara nyata dapat dinikmati hasilnya, tak terkecuali pada Ciliwung.
Perubahan wajah Ciliwung adalah keniscayaan, seiring arus waktu, aruh sungai Ciliwung secara konsisten juga akan merubah wajah Ciliwung itu sendiri. Pertanyaanya yang harus diajukan adalah apakah perubahan tersebut akan terus berkembang membaik atau justru sebaliknya. Tapi yang jelas, wajah Ciliwung telah berhasil diubah dengan baik oleh gubernur non-aktif, yang juga sedeang ikut Pemilukada sebagai petahana. Apakah perubahan ke arah kebaikan itu akan terus dilanjutkan? Jawabannya ada pada warga Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H