Lihat ke Halaman Asli

Menteri Agraria, Kapan Konflik Tanah Selesai?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan Pak Nahadin, seorang petani di Kabupaten Seluma, Bengkulu yang tanahnya dicaplok oleh salah satu perusahaan perkebunan milik negara. Telah lama saya tak jumpa beliau pasca mendekam di ruang tahanan Lapas Malabero Bengkulu beberapa tahun silam.

Penampilannya masih seperti dulu, murah senyum, kalau bicara maunya serius terus, kadang saya nakal “meledek” beliau saat sedang seriusnya ngobrol, kalau sudah begini biasanya kami berdua tertawa cekikikan.

Kadang kalau saya bertamu ke rumahnya di Desa Pering Baru, pasti ngobrolnya lama, kopi, teh, rokok, cemilan ubi, macam-macam tumpah ruah.

Saya enggan membuka cerita lama sebelum kami dan 18 petani lain dipukul, tendang lalu dijebloskan ke penjara di perkebunan kelapa sawit, bukan persoalan trauma, namun malu upaya tak membuahkan hasil hingga kini.

Namun, yang menyatukan kami dengan petani itu ternyata cerita tragis itu, kami tak memiliki cerita indah, cerita kami hanya secuil tanah petani yang diambil salah satu perusahaan milik negara secara “paksa” pada sekitaran tahun 1980-an.

Aku berusaha menahan untuk tak memancing cerita itu tapi bibir petani itu meluncur mengucap, 30 tahun saya tetap memperjuangkan tanah saya yang diambil perusahaan itu, walau kini usaha terus kendur.

“Adakalanya saya mengikhlaskan, namun melihat kondisi keluarga yang saat ini semakin terjepit, semangat mencari keadilan itu muncul lagi,” kata Nahadin.

Cerita pertemuan saya dengan Pak Nahadin, sekelumit kecil saja persoalan yang menimpu ribuan petani kecil di Nunsantara. Saya percaya masih banyak cerita nyaris serupa, mencari rasa adil karena tanah yang mereka punya dicaplok begitu saja.

Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2,8 juta hektare. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain konflik (1,48%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.(mongabay).

Aktivis agraria Eva Bande mengusulkan Presiden Joko Widodo membentuk satuan tugas (Satgas) penyelesaian konflik agraria. Hal ini seiring makin maraknya kasus konflik agraria yang berujung pada kriminalisasi rakyat serta aktivis.

Mendengar usulan Eva itu dalam sebuah media online nasional yang saya baca, presiden manggut-manggut saja dan bilang ya, saya nangkep dan ngerti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline