Lihat ke Halaman Asli

Dilema Mahasiswa Pertanian Menyangkut Kenaikan Harga Kedelai

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umumnya kita hanya mengenal swasembada beras yang telah dilakukan oleh pemerintahan orde baru namun kenyataannya bangsa ini juga pernah melakukan swasembada kedelai. Negeri tercinta ini pernah menjadi salah satu eksportir kacang kedelai terbesar di dunia. Tepatnya pada tahun 1992 dan 1993.  Sungguh ironis melihat realita bahwa belakangan ini Indonesia menjadi importir terbesar kacang kedelai.

Tak dapat dipungkiri bahwa konsumen kacang kedelai terbesar di dunia adalah rakyat Indonesia. tempe, tahu dan juga kecap tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat kelas bawah dan menengah. Ratusan praktisi, pengamat, dan pemerhati dari seluruh belahan nusantara mengutarakan opini masing-masing terkait kenaikan harga kacang kedelai.

Beberapa pihak mengatakan bahwa kacang kedelai mengalami kelangkaan sehingga harganya menjadi mahal. Akan tetapi Dirut Bulog menepis opini tersebut dengan pernyataan bahwa Bulog masih memiliki banyak cadangan kacang kedelai di gudang penyimpanan.

Ada pula pihak yang mengatakan bahwa kenaikan harga kedelai disebabkan permainan kartel. Berdasarkan beberapa sumber menyatakan bahwasannya 66% importir kacang kedelai hanya di pegang oleh 3 perusahaan sehingga besar kemungkinan ada kongkalikong dalam penimbunan kacang kedelai seperti kasus penimbunan bawang tempo lalu.

Saya pribadi lebih cenderung membenarkan pernyataan yang mengatakan bahwa hilangnya kebijakan pajak impor menyebabkan persaingan perdagangan menjadi tidak adil. Petani-petani kita yang tidak menempuh pendidikan bersaing melawan bule-bule pemilik teknologi canggih. Dalam kasus ini saya tidak akan menyalahkan pemerintah karena saya yakin bahwa pemerintahan diisi oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya.

Paradigma kacang kedelai ini menimbulkan beragam pertanyaan dalam benak saya. Salah satunya adalah “ Dimanakah jebolan-jebolan universitas pertanian? “ apatah ribuan mahasiswa itu hanya bisa berdemo tanpa ikut berusaha melakukan penelitian yang dapat menyelesaikan masalah pangan. Pertanyaan tersebut mengantarkan saya untuk mewawancarai salah satu mahasiswa IPB.

Setelah tanya jawab berlangsung dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pertanian dan juga dosen-dosen mereka melakukan begitu banyak penelitian. Mulai dari mencari substitusi kacang kedelai itu sendiri sampai mencari cara untuk mendapatkan bibit yang nantinya bisa menjadi kacang kedelai yang besar dan mudah tumbuh. Namun titik permasalahannya adalah ketika penelitian itu ingin di implementasikan ke masyarakat luas. Banyak hasil penelitian yang ditolak mentah-mentah oleh para petani . mereka yang sudah berkerja puluhan tahun dalam bidang pertanian tidak mempercayai dengan solusi-solusi yang ditawarkan.

Alasannya para petani menolak hal itu klasik sekali. Mereka menilai bahwa para mahasiswa itu belum memiliki pengalaman dalam urusan pertanian dan menganggap solusi yang ditawarkan para mahasiswa hanyalah omong kosong. Jika sudah begini siapa yang sebenarnya salah?

~ Penulis hanyalah seorang mahasiswa, masih jomblo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline