"Wah! Enak sekali, Bapak, ya?" suara anak yang belum genap 7 tahun itu terdengar bahagia.
Amaq Locong, sang ayah, hanya tersenyum. Matanya berbinar sambil mengamati sajian. Dua porsi satai daging terlihat menggoda. Bulayak terlihat rapi terbungkus daun kelapa yang dililitkan. Potongan kecil-kecil cabai rawit muda menjadi penghias bumbunya. Di sampingnya tergeletak tudung saji yang terbuat dari anyaman daun lontar.
Tudung saji yang biasa disebut tembolak oleh masyarakat Lombok itu ditambahi cermin kecil dan cangkang kerang. Sepasang mata anak lelaki bernama Solong itu menatap hidangan di depannya dengan penuh harap. Sajian ini telah lama diidam-idamkannya.
Bocah itu terlihat menahan air liurnya. Sementara ayahnya hanya menatapnya. Semakin dalam dia menatap wajah anaknya, semakin sesak memenuhi dadanya.
"Sabar dulu, ya, Long," kata Amaq Locong sambil mengelus kepala Solong yang menunduk memperhatikan sajian.
Solong menganggukkan kepala kemudian berkata, "Bapak... ini kenapa tudungnya ada cermin dan cangkang kerang?"
Amaq Locong kembali tersenyum tanpa bergegas menjawabnya. Dia memilih kembali mengelus kepala Solong. Sejenak dia melihat sekeliling. Tidak jauh darinya, beberapa keluarga terlihat menikmati sajian satai bulayak dengan lahap. Sesekali mereka terlihat tertawa kecil. Sebagian lagi tampak tersenyum-senyum.
Mendadak mata pria itu menangkap bayangan tubuh seorang perempuan yang sedang sibuk membongkar-bongkar lembar menu di meja kasir. Sayup dia mendengar perempuan itu bertanya pada perempuan lainnya, "Bik Imah! Mana lembar menu yang sobek ujungnya itu?" Kedua perempuan itu terlihat berbicara dengan mimik serius.
Amaq Locong memalingkan wajahnya ke arah Solong. Secara detail dia memperhatikan wajah anak semata wayangnya itu. Wajah polosnya memancarkan harapan. Dia tahu harapan itu adalah bisa segera menikmati hidangan khas Lombok itu. Terlebih hari ini tidak seperti biasa. Anak yang baru menginjak kelas 1 SD itu menyusul dirinya.
Amaq Locong yakin anaknya itu sedang kelaparan. Terlebih setelah tadi berjalan dari sekolah dan berkeliling ke beberapa tempat sampah. Di warung sate wilayah Suranadi Lombok ini adalah lokasi yang kelima kalinya.
Lelaki berkulit cokelat gelap itu mengembalikan fokus pada hidangan. Dia melihat anaknya masih menunggu dirinya memberikan jawaban atas pertanyaan yang baru saja diajukannya. Lelaki berusia 37 tahun itu pun menjelaskan secara detail filosofi bulayak yang ditutup tembolak dengan cermin dan cangkang kerang.