Dendam, merasa diri paling berharga dalam sebuah desa karena nenek moyangnya yang membangun, menamakan desa , yang pertama duduk dan memimpin dalam desa itu. distitulah berawal terjadinya pencurian kerbau besar-basaran didaerah pegunungan padahal kerbau mereka hanya satu ekor saja yang mereka lepas dalam kawanan kerbau lainnya, tapi waktu mereka bawa pulang puluhan ekor kerbau dan mereka jual. hampir semua orang terjerumus dalam pekerjaan itu tinggal 6 orang laki-laki saja yang tersisa, dan lebih parah lagi perampasan kebun-kebun rakyat dengan cara menyewa, meminjam, tapi pada akhirnya itu menjadi milik mereka dan di akui oleh pemimpin atau keuchik setempat yang bahwa itu milik dia.
1950 periode pertama 20 tahun menjabat sebagai kepala desa banyak sekali terjadi hal-hal seperti ini bahkan dukun santet di biayai oleh mereka supaya mereka lebih kuat dalam segala hal.
1970 periode kedua dialihkan jabatannya ke anak laki-lakinya yang pertama itupun tidak kurang dari kebejatan ayahnya dulu, 15 tahun dia berkuasa, begitu banyaknya aset desa dia sapu bersih.
1984 periode ke tiga jabatan itu pula diambil oleh sepupunya yang berketurunan orang aceh barat selama dia memimpin 14 tahun lebih kurang, hanya orang-orang aceh barat lah yang dilayani dengan baik bahkan banyak sekali orang mereka yang datang ke desa tersebut dan di kasih tempat tinggal dan kebun untuk bercocok tanam sedangkan orang tempatan tidak mendapatkan apa-apa seperti kata pepatah Aceh ( buya kreung teudeong-doeng , buya tameong meuraseuki ) = buaya tempatan hanya duduk bengong tapi buaya jalan yang dapat rezeki. itu lah yang dilakukan oleh dia selama masa jabatanya sampai sakarang sudah banyak orang aceh barat dalam beberapa dusun tersebut .
1998 periode ke empat dipimpin lagi oleh adik sepupu pemimpin yang ke empat selama 12 tahun itupun tak kunjung reda dari apa yang dilakukan oleh monyangya. dia seorang mafia jalanan dan seorang pencuri besar-besaran cuma dikampung saja mereka tidak melakukan hal itu, semau barang curian mereka disimpan di desa tersebut. pada masa dia menjabat banyak yang sudah timbul dalam benak masyarakat mengapa desa kita selalu begini..? dan pa yang harus diperbuat pemimpin hanya mementingkan diri sendiri. hari demi hari muncul satu persatu kritikan -kritikan dalam masyarakat terhadapnya, tapi apalah daya masyarakat kita dulu mereka hanya tahu mengkrtik saja tapi tidak tau bagaimanan cara memperbaiki, melawati kendala tersebut.
setelah 8 tahun lebih keuchik tersebut menutup-nutupi mulut masyarakat dengan duit bagi siapa saja yang bersuara dan mengkritik dia tapi sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga ketanah hanya dengan perbuatan seorang pemuda yang berusia 22 tahun masa itu.....!!!! dia tidak banyak berbicara, mengkritik, bahkan dia berkawan dengan geuchik tersebut. dia merangkul hampir semua elemen pemuda dan perangkat-desa yang mau bekerja sama dalam menyelesaikan hal tersebut. tapi banyak juga yang masih mempertahankan geuchik tersebut, dengan tidak ada cara lain terpaksalah dia mengadu domba antara geuchik dengan beberapa orang yang masih mendukungya, hingga tinggal dia sendiri. dan sekarang kami sudah memilih geuchik baru dari dengan cara demokrasi dan jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H