Lihat ke Halaman Asli

Tiga Pikiran Al-Zaytun di Mata Hukum

Diperbarui: 6 Juli 2023   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: CNN Indonesia (cnnindonesia.com)

Kasus Pondok Pesantren Al-Zaytun sampai hari menjadi perbincangan hangat. Sebagian kalangan menghubungkannya dengan masalah hukum, administrasi pendidikan, atau sosial politik. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD telah memastikan bahwa Al-Zaytun lahir dari organisasi NII.

Namun, tulisan ini akan menguraikan beberapa pemahaman keagamaan yang cukup kontroversial sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. 

Setidaknya ada tiga pemikiran yang menyimpang. Pertama, tentang jamaah perempuan dan laki-laki shalat dalam satu barisan. Hal ini terlihat dalam foto shalat Idul Fitri yang sempat viral. Apakah salah? 

Mengingat sebuah hadis Rasulullah riwayat imam Muslim, bahwa tata letak jamaah adalah baris depan diisi oleh jamaah laki-laki dan baris belakang diperuntukkan bagi jamaah perempuan.

Mungkin, Al-Zaytun melihat para jamaah perempuan dan laki-laki di masjidil Haram yang memang tidak dipisahkan. Tentunya, alasan utamanya adalah situasi darurat dan demi kemaslahatan. 

Jadi, kalau dalam kondisi normal, sebaiknya kita mengikuti ajaran Rasulullah saw yang memisahkan jemaah berjenis kelamin berbeda untuk menjaga keikhlasan dan kekhusukan dalam beribadah.

Kedua, tentang perempuan menjadi khatib Shalat Jumat. Hal ini sebenarnya pernah juga dilontarkan oleh Aminah Wadud, pemikir Muslim Amerika. Aminah pernah menjadi imam sholat Jumat. 

Namun, dalam khazanah keislaman, Imam empat Madhab sepakat bahwa perempuan tidak wajib shalat Jumat sehingga tidak bisa menjadi imam shalat Jumat, apalagi mengimami laki-laki. Dengan demikian, pendapat Al-Zaytun sebaiknya tidak diikuti.

Ketiga, tentang Qur'an bukan Kalam Allah SWT, tetap kalam Muhammad SAW. Secara istilah menurut pakar Ulumul Qur'an, misalnya Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi paling akhir, Muhammad, tertulis dalam sebuah mushaf, tersampaikan kepada kita dengan riwayat yang sambung, dan merupakan ibadah bagi pembacanya serta menjadi bukti mukjizat dari Allah SWT.

 Jadi, maksud kalam Allah SWT adalah firman Allah SWT, bukan buatan nabi Muhammad SAW. Namun, kalau dilihat dari sisi prosesnya, memang tidak dapat dipungkiri, kita dapat mendengar, belajar, dan menelaah Al Quran melalui lisan Nabi Muhammad, bahasa lainnya adalah Kalam Nabi. 

Namun, tentunya redaksi dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril. Dengan demikian, pemahaman bahwa Al Quran merupakan kalam Nabi, dibuat Nabi Muhammad SAW, jelas tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas umat Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline