Lihat ke Halaman Asli

Ketika Cinta Harus Memilih (Antara Dua Isteri): Kasus Mediasi

Diperbarui: 15 September 2016   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari pagi, Siti sudah berada di ruang tunggu. Wajahnya tertunduk pasrah. Sesekali ia menyeka air matanya yang mengaliri pipinya. Hatinya sudah porak poranda akibat ulah suaminya, Jono. Ia sebenarnya tak ingin datang ke pengadilan agama, namun karena ia takut kehilangan hak-haknya, maka ia memaksakan diri untuk mengikuti jalannya persidangan.

Setelah mengikuti sidang pertama, Siti dan Jono diwajibkan untuk masuk ke ruang mediasi. Tanpa proses mediasi, kasus kedua pihak tidak dapat dilanjutkan. Kini Siti dan Jono sudah berada di raung mediasi.

"Assalamu alaikum" ucap Jono menyapa mediator. 

"Walaikum salam warahmatullah" jawab mediator ramah, "Bapak dan Ibu, silakan duduk!"

Sesaat setelah Pak Iman,  mediator yang bertugas, membaca surat permohonan talak yang dibawa Jono dengan cermat, kemudian Ia bertanya, "Pak Jono, apakah Bapak sudah yakin dengan surat permohonan ini?" "Ya!" jawab Jono singkat. "Kalau Ibu, apakah Bu Siti sudah membaca surat ini?" "Saya belum baca, Pak! Saya juga tidak tahu kalau suami saya mengajukan cerai. Saya sebenarnya keberatan untuk bercerai, Pak." ujar Siti. "Halah, jangan ngacau kamu, bukannya kamu yang meminta aku ngurus surat cerai?" segah Jono bersungut-sungut. 

Dialog itu pun mengalir cepat. Sanggahan Jono dan jawaban Siti saling bergantian didampingi oleh mediator yang sudah biasa menangani kasus semacam ini. Jono bersikukuh untuk menceraikan istrinya.

Ia sudah lama pisah ranjang bahkan meninggalkan istrinya lebih dari 5 tahun. Ia  betah tinggal di Brunai sebagai TKI ketimbang hidup bersama istrinya yang sudah menurutnya suka menuntut itu. Di negeri orang itu, akhirnya, Jono memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain yang lebih muda dari istri pertamanya.

"Dia enak, Pak, sudah kawin lagi, lalu menjual sebagian besar kekayaan kami. Rumah kami dijual, juga tanah pekarangan ikut dijual. Sekarang yang tersisa hanya rumah saya yang sekarang saya tempati. Masak saya harus pergi?" Cerita Siti sambil berurai air mata. "Ia suami kejam, Pak" tambahnya. 

"Bukan begitu Pak," jelas Jono, "istri saya yang ini sukanya manja, ia ingin semua kebutuhannya dipenuhi sementara pekerjaan saya kan hanya buruh. Oleh sebab itu, saya cari perempuan lain yang mau mengerti saya. Akhirnya saya menikah lagi." 

Pak Iman yang dari tadi mendengarkan percakapan suami-istri yang berseteru itu menengahi. "Apa yang Bapak inginkan dari kasus ini?" "Saya ingin bercerai Pak dan ingin rumah yang ditempati ibu Siti diserahkan kepada saya," jawab Jono. "Baik, Pak Jono, kita selesaikan satu persatu dulu ya!"

Pak Imam kemudian mengatakan bahwa soal perceraian adalah masalah mudah, namun tentunya butuh proses diskusi yang panjang. Cerai dianggap mudah karena dapat diajukan ke pengadilan. Namun, pihak pengadilan harus menimbang manfaat dan madharat jika perceraian itu dikabulkan. Oleh sebab itu, proses mediasi menjadi salah satu cara untuk mengurai masalah dengan detail sehingga keputusan berpisah benar-benar dipikirkan secara matang.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline