Lihat ke Halaman Asli

Urus Visa Amerika lebih Sulit dari Masuk Surga? Bener Lho...

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Visa merupakan surat ijin masuk ke negeri orang. Ketika seseorang ingin berkunjung ke luar negeri, apapun tujuannya, ia harus mengantongi visa di paspornya. Jika tidak, harapan untuk menikmati suasana lain di negara seberang hanya akan menjadi isapan jempol belaka meski bekal materi telah berjibun.

Mengurus visa dari satu negara ke negara lain tentu berbeda. Ada visa yang gampang sekali seperti visa masuk negara Asean, namun ada pula pengurusan visa yang sangat sulit dan seperti bermain judi, seperti visa Amerika. Mengapa demikian? Warga negara yang tergabung dalam nota kesepahaman Asean telah memberikan jaminan kemudahan agar para warga mudah melakukan aktifitas di kawasan tersebut. Berbeda dengan Amerika, sejak luluhlantaknya gedung WTC, Amerika menerapkan prosedur pengamanan yang superketat agar negaranya tidak kecolongan lagi. Oleh sebab itu, para pemohon visa harus siap gigit jari jika berhadapan dengan konsular saat wawancara.

Dulu ketika saya berkesempatan mengunjungi Kanada, pengurusan visa langsung ditangani pihak sponsor, yakni CIDA (Canadian International Development Agency). Saya dan kawan-kawan yang jumlah 25 orang hanya diminta untuk menyerahkan paspor. Berbeda halnya dengan pengalaman ke Malaysia, visa langsung distempel saat tiba di Bandara Kualalumpur. Tidak ada hal yang harus dipersiapkan dari rumah. Begitu pula saat memasuki wilayah Singapura. Visa diurus langsung di saat masuk gerbang pertama di negeri itu. Intinya, prosedur tidak ribet dan melelahkan.

Nah beda halnya dengan pengalaman saya mengurus visa Amerika tahun 2010 yang lalu. Wuih, butuh kesabaran dan waktu ekstra lho! Aplikasi masuk Amerika rasanya lebih susah dari aplikasi masuk surga! hehe..Selain aplikasinya harus online--dan prosesnya tidak mudah, seperti jenis dan ukuran foto harus memenuhi syarat, pengisian formulir yang berlembar-lembar, dan barcode aplikasi harus jelas--para pelamar juga harus rela antri di tengah terik matahari dan ancaman hujan. Sebelum masuk lingkungan kedutaan, para pelamar harus rela antri di luar pagar dengan pemeriksaan ketat. Pengunjung yang namanya tidak ada dalam daftar pelamar hari itu dapat dipastikan harus pulang dengan gigit jari. Begitu pula, barang bawaan yang dianggap tidak perlu semisal kamera dan laptop harus dititipkan ke petugas. Para petugas yang berlagak keras terkadang terkesan arogan dan superior.

Setelah melalui pemeriksaan ketat di depan pintu, pelamar yang lolos dipersilakan memasuki kedutaan. Saya agak kaget ketika ternyata ratusan orang masih antri di depan loket dengan wajah lelah. Gimana tidak? Loket yang tersedia hanya dua meja, sedangkan setiap orang harus menghabiskan waktu sekitar 5 menit untuk memproses aplikasinya. Saya yang datang agak siang sudah dipastikan harus menunggu giliran lebih dari 5 jam. Wow, berdiri di bawah terik matahari di lapangan bola basket tentu dapat dibayangkan. Keringat mengucur deras sedangkan gerak antrian sangat lamban. Alhasil, saya yang sejak pukul 8.30 sudah menunggu baru mendapat giliran menyerahkan persyaratan aplikasi pada pukul 14.00. Wow!

Saat berhadapan dengan petugas, perasaan saya was-was jangan-jangan barcode saya tidak terbaca. Jika demikian, penantian panjang dari pagi akan sia-sia sebab sang pelamar harus memulai lagi proses dari nol, yakni memulai dari aplikasi online. Sehari sebelumnya, barkode saya sudah saya kirim ke pihak Aminef-Fulbright. Mereka bilang kalau barcode saya tidak terbaca. Saya pun mengulang aplikasi lagi. Oleh sebab itu, saya khawatir kalau barcode saya masih juga belum dapat dibaca oleh sinar merah.
Untungnya, kali ini barcode saya tidak bermasalah. Setidaknya saya bisa bernafas lega untuk dapat memasuki tahap selanjutnya. Tapi sayang, kawan saya yang berasal dari Papua harus pulang lebih awal karena barcodenya tidak terdeteksi. Ia diminta untuk datang lagi esok hari.

Setelah tahap penyerahan aplikasi, saya dan kawan-kawan memasuki ruang pemeriksaan metal detector dengan X-ray persis seperti ketika masuk bandara. saya yakin saja kalau saya dapat melewatinya tanpa kendala. Tetapi apa yang terjadi? Saya diminta balik lagi untuk dicek ulang karena pintu keamanan itu mengeluarkan bunyi. Saya pun digeledah padahal saya tidak membawa apa-apa. Tas sudah diletakkan di meja pemeriksaan barang. Ternyata, mereka mendeteksi bahwa di sepatu saya ada lempengan besi yang dicurigai sebagai bahan berbahaya. O ya? Saya agak kaget. Akhirnya, sepatu saya harus dilepas untuk diperiksa secara khusus. Wow! Seumur-umur baru kali ini saya harus 'nyeker' saat melewati pintu detektor tersebut. Sungguh terlampau ketat!

Setelah semua dipastikan aman, saya dan kawan-kawan disilakan memasuki ruang wawancara. Di ruang ini, para eksekutor kedutaan melancarkan aksinya. Saya yang sudah kelelahan hanya duduk diam menunggu giliran. Tak lama kemudian, saya dipanggil untuk sidik jari, persis dengan proses pengurusan paspor. Lalu saya menunggu lagi untuk mendapat giliran wawancara. Awalnya, saya agak cemas tentang materi wawancara. Namun, karena saya sudah diberitahu bahwa isi wawancara adalah seputar kegiatan saya di negera tujuan, saya pun bisa lebih rileks. Saya lihat orang-orang yang diwawancarai, ada yang lancar, tetapi ada pula yang harus pulang dengan kecewa. Ketika selesai wawancara, ada dua kemungkinan: permohonan diterima atau ditolak. Jika diterima, paspor ditahan dan diberi kartu putih atau kuning. tetapi jika ditolak, paspor akan dikembalikan. Uang pendaftaran sebesar 1.400.000 harus rela melayang dan harus membayar dengan jumlah yang sama jika akan aplikasi lagi.

Saya melihat kawan-kawan saya dilayani dengan baik. Semuanya mendapatkan kartu putih. Itu berarti permohonan visa diterima dan tinggal mengambil visa pada tanggal yang tertera dalam kartu putih itu. Saya pun optimis ketika diwancarai kalau saya akan lolos dengan mudah. tetapi apa yang terjadi? Paspor saya ditahan dan saya diberi kartu kuning. Saya agak kaget, lho kok tidak sama dengan kawan-kawan saya yang sama-sama dipayungi oleh lembaga Beasiswa Fulbright yang notabene sangat prestisius itu? Saya baru sadar ketika saya bertanya kepada kawan-kawan, ternyata visa saya dipending alias harus melalui administrative process. Waktunya juga tidak jelas, bisa dua minggu, tiga minggu, sebulan atau bahkan bisa satu tahun. Inilah yang membuat saya agak shock. Harus berapa lama saya menanti? Padahal, saya sebenarnya harus sudah mengikuti Summer Program mulai tanggal 22 Juni. Nah, jika waktu tunggu melebihi batas waktu kontrak saya yang hanya sampai 9 Februari, apakah ini berarti perjuangan saya selama berbulan-bulan akan percuma begitu saja?

Mengapa visa saya harus dipending? Sejumlah analisis pun bermunculan. Menurut pengalaman kawan-kawan, visa dipending itu disebabkan oleh ketakutan Amerika kepada hal-hal yang berbau Islam. Mereka masih trauma dengan tragedi 11 September. Mereka seperti tidak begitu senang ketika kedatangan tamu dari negara-negara yang dicurigai sebagai sarang gerakan Islam fundamentalis yang sering dianggap sebagai pemicu tindakan terorisme. Indonesia, menurut mereka, termasuk dalam daftar hitam. Oleh sebab itu, para pelamar visa dari Indonesia, apalagi beragama Islam, tentu mendapat pengawalan ekstra-ketat agar tidak melakukan hal-hal yang mengancam keamanan negeri mereka. Nah, kebetulan saya berlatarbelakang Islam yang kental meskipun nama saya tidak ada berbau Arab sama sekali. Riset saya di Amerika juga terkait dengan filantropi Islam yang dicurigai sebagai pemasok dana gerakan terorisme. Jadi, akhirnya saya paham mengapa visa saya harus dikroscekkan dengan data dari departemen keamanan Amerika yang berada di Washington, jangan-jangan saya termasuk dalam jaringan al-Qaeda atau mantan tentara Afaganistan....(hehe)

Jujur saya agak sedih ketika nasib saya terkatung-katung antara bingung dan kecewa. Saya sudah terlanjur siap-siap untuk berangkat pada akhir bulan ini. Saya sudah melayangkan surat ijin cuti mengajar dan studi. Saya tidak tahu harus bagaimana menjelaskan status saya kepada orang-orang yang bertanya tentang keberangkatan saya ke Amerika. Mungkin, saya harus tegar untuk menyampaikan bahwa saya sedang bermasalah di pengurusan visa. Tatkala ternyata saya tidak mendapatkan visa, saya harus ikhlas untuk segera membuat rencana baru demi penyelesaian studi saya. Tak harus ke Amerika kan untuk sekedar penelitian?

Beberapa hari terakhir ini, saya seperti mendapat angin segar. Meskipun saya masih juga menunggu proses keluarnya visa yang tak jelas tanggalnya, saya dimotivasi oleh banyak pihak, seperti kawan Fubrighter lama dan promotor saya bahwa saya insya Allah pasti akan mendapat visa. Saya kemungkinan besar akan berangkat meskipun studi saya di Semarang telah usai. Ini artinya, durasi waktu yang telah ditetapkan Fubright mulai 22 Juni hingga 9 Februari masih bisa dijadwal ulang. Oleh sebab itu, saya harus tetap optimis untuk terus menjalankan aktifitas saya dalam proses penyelesaian studi seperti sediakala.

Akhirnya, Alhamdulillah, visa saya keluar di akhir Juni, sekitar satu bulan setelah wawancara. Saya pun bisa berangkat ke Amerika dan menjalankan riset dengan lancar. Pada awal tahun 2011, saya sudah kembali ke tanah air dengan beragam pengalaman yang tak kalah menantangnya. Semoga pengalaman ini bermanfaat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline