Lihat ke Halaman Asli

Kearifan Tukang Kayu yang Membuatku Malu

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kembali ke Malang, saya sangat berkeinginan untuk memperbaiki kondisi rumah yang sudah tiga tahun tak berpenghuni. Banyak bagian rumah yang sudah mulai rusak. Maklum, meski bangunan rumah tergolong baru, namun bahan yang digunakan oleh sang pemilik sebelumnya tergolong pas-pasan. Kayu yang digunakan untuk pintu, kusen, dan bahkan atap jauh dari kata berkualitas. Alhasil, daun pintu rumah beserta kusennya keropos dimakan rayap. Pernah suatu ketika, rayap-rayap itu yang sudah berubah menjadi laron pesta pora keluar dari sela-sela kusen. Anak-anak sempat ketakutan melihat banyaknya hewan yang berterbangan secara liar.  Oleh sebab itu, saya berangan-angan untuk segera merehap pintu utama rumah yang sudah tidak layak itu.

Saya pun mencari informasi tentang tukang kayu terdekat. Tersebutlah sebuah nama yang masih asing bagi saya. Pak Miadi namanya. Ia bertempat tinggal di RW yang sama namun beda RT. Suatu hari ia datang ke rumah atas ajakan kawan saya yang saya pesan mencarikan tukang. Karena saya tidak ada di rumah dan hanya ditemui isteri saya, ia pun pulang dan menunggu informasi lanjutan dari saya. Tak lama kemudian saya berkunjung ke rumahnya dan mengajaknya ke rumah saya untuk mengukur pintu dan jendela. Dari satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain, saya merasakan bahwa pak Miadi bukan sekedar tukang kayu. Ia mempunyai perilaku yang sopan dan rendah hati. Ia bahkan tak segan-segan memberikan wejangan kepada saya tentang cara menjalani hidup. saya jadi kian penasaran untuk mengetahui siapa dia sebenarnya.

Ketika saya berkunjung untuk yang kedua kali ke rumahnya, barulah saya tahu lebih dalam tentang sosoknya. Saat menemui saya, ia menggunakan baju koko dan kopiah hitam. Dari raut wajahnya, terpancar senyuman tulus yang menyejukkan. Ternyata, seperti yang saya duga, ia adalah pengurus mushalla di dekat rumahnya. Ia juga orang kepercayaan pak RW untuk mengurusi kegiatan keagamaan di tingkat RW. Sejumlah acara ritual melibatkannya demi suksesnya acara tersebut. Pantas saja kalau kemudian saya disambut dengan ramah dengan penuh persaudaraan meskipun belum lama saling kenal.

Filsafat hidup pak Miadi berorientasi kepada kehidupan akhirat. Ia berkata bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah bekal untuk menuju akhirat. Oleh sebab itu, ia mendorong anak-anaknya untuk mendalami ajaran agama meski mengambil pendidikan formal yang umum. Ia juga mengajak anak-anaknya untuk terus belajar menuntut ilmu demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Mungkin, pikiran semacam pak Miadi bukan hal yang baru bagi sebagian orang, apalagi bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Tapi bagi saya, apa yang menjadi keyakinan hidup pak Miadi adalah sebuah kemajuan yang luar biasa karena pak Miadi hanyalah tukang kayu yang tidak pernah menikmati pendidikan formal yang memadai. Cara hidupnya sangat religius meski harus menghadapi dinamika kehidupan yang tak menentu.

Satu hal lagi yang membuat saya kagum adalah wataknya yang mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya sendiri. Beberapa hari yang lalu, saya meminta bantuan kepadanya untuk memperbaiki pintu dan jendela rumah saya yang agak melar akibat hujan deras setiap hari. Saya tahu bahwa ia sedang sibuk mengerjakan proyek perbaikan asrama di sebuah pesantren. Namun, ia berjanji akan segera datang ke rumah di sela-sela pekerjaannya yang padat. Tak lama kemudian, ia datang bersama dua tukang yang membantunya untuk memperbaiki pintu dan jendela. Saya tidak tahu bagaimana ia meminta ijin ke pimpinan asrama itu untuk memperbaiki pintu saya terlebih dahulu. Kurang lebih dua jam mereka membenahi daun pintu dan daun jendela.

Setelah selesai, pak Miadi berbincang-bincangdengan saya sejenak sambil meneguk minuman teh yang disediakan. Ketika saya tanya berapa biaya perbaikan itu, pak Miadi mengatakan bahwa tidak selalu pekerjaan yang dia lakukan selalu berorientasi pada uang. Ia senang telah bisa membantu saya mengatasi masalah pintu yang macet dan seret. Ia kemudian meminta saya untuk mensyukuri nikmat tersebut dengan melakukan sedekah walau tidak harus kepadanya. Ia menolak dengan halus uang lelah yang sudah saya siapkan. Heran sekali saya menghadapi sikapnya. Bagaimana mungkin orang bekerja keras dengan memeras keringat lalu tidak berkenan menerima upahnya? Saya tetap memaksanya untuk menerima ongkos pekerjaannya tetapi tetap saja tak berhasil. Akhirnya, pak Miadi dan kedua temannya itu mohon pamit dan saya pun hanya terbengong-bengong sambil mengucapkan terima kasih.

Saya hingga hari ini masih belum bisa menghilangkan keheranan saya bahwa di jaman yang serba materialistik seperti saat ini masih ada orang yang punya prinsip hidup seperti pak Miadi. Saya jadi malu dibuatnya. Saya pun ingin meneladaninya untuk kehidupan saya selanjutnya. Semoga…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline