BrantasNewsMedia.ID_ Pati_ Pada abad ke-20, pergulaan di Indonesia mengalami beberapa pergantian pengelolaan, dari Belanda, Jepang, Belanda dan Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia mulai mengelola Pabrik Gula (PG) pada tahun 1950 dengan mengaktifkan 30 PG dengan lahan 27.783 ha dan produktivitas 9,4 ton/ha . estimasi Ketersediaan Gula daerah bruto , (2000).
Dalam perkembangannya, pemerintah mengalami kesulitan masalah lahan. Sehingga dikeluarkanlah INPRES No. 9 pada tanggal 22 April 1975 mengenai Intensifikasi Tebu Rakyat, atau sering disebut dengan Program TRI, dengan tujuan agar petani mengusahakan tanaman tebu sendiri di lahannya untuk menjamin pemantapan dan peningkatan produksi gula nasional, dengan harapan petani menjadi mandiri. Beberapa fasilitas iberikan untuk menunjang program TRI ini, antara lain; pemberian kredit usaha, bimbingan teknis dan rehabilitasi tanaman (Anonim, 1981)
Menurut Anonim (2000), Program TRI berhasil meningkatkan lahan tebu itu dari 104.777 ha (1975) menjadi 188.772 ha (1980) dan produksi gula naik dari 1.035.052 ton (1975) menjadi 1.249.946 ton (1980). Namun besarnya kenaikan produksi tidak sebanding dengan kenaikan lahan, atau dengan kata lain produktivitasnya justru menurun, yaitu dari 9,88 ton gula/ha (1975) menjadi 6,62 ton gula/ha(1980).
Selanjutnya Hal ini terjadi karena perluasan areal dilakukan pada lahan yang kurang produktif dan masih rendahnya pengetahuan petani baru dalam mengelola tanaman tebu.
Dalam rangka swasembada gula, pada tahun 1980 dilaksanakan Program Peningkatan Produksi Gula yang dipercepat. Pemerintah melakukanrehabilitasi dan perluasan kapasitas PG di Jawa dan pembangunan PG di luar Jawa, serta perluasan areal di lahan sawah dan lahan kering. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 941/1980 ,dikeluarkan untuk mengembangkan tebu lahan kering. Pada tahun 1985 lahan meningkat menjadi 277.615 ha dengan produksi 1.725.196 ton. Program ini berhasil mengurangi impor bahkan pada 1985 dan 1986 nilai impor mencapai nilai nol. Tetapi lagi-lagi program ini telah menurunkan produktivitas dari 6,62 ton/ha menjadi 6,21 ton gula/ha.
Penyebabnya adalah peningkatan lahan kering yang tidak produktif walaupun dari segi budidaya, petani justru dapat menyaingi PG. Pada tahun 1987 impor kembali dilakukan, sementara rendahnya produktivitas tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan.
Shoilihul Hadi ": Pengamat ekonomi Bisnis dan pertanian , Tinggal di Pati
Sarjana Filsafat Humaniora IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1991
Menacri pekerjaan namun belum Pernah mendapat pekerjaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H